Minggu, 22 Juni 2008

Hari hariku penuh keindahan

Hari hariku penuh keindahan

Namaku Kundalini. Sebenarnya aku malas menceritakan pengalamanku ini kepada orang lain. Apalagi aku harus mengetiknya terlebih dahulu. Tapi tidak apalah, demi pembaca situs 17thn tercinta ini.

Seperti tadi sudah kunyatakan, namaku Kundalini, cewek 25 tahun, 41 kg, 34B, 27″. Aku tinggal di kota kecil di Jawa Tengah. Setelah menyelesaikan studiku di perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah. Aku tidak mau terlalu spesifik. Kalaupun ada yang mau menghubungiku, e-mail saja kepadaku.

Aku termasuk orang yang bisa dibilang maniak dalam hubungan seksual. Aku pun mampu bertahan lama dalam menghadapi lawan jenisku. Untungnya aku tergolong pendiam. Sehingga orang tetap mengenalku sebagai Kundalini yang pendiam dan memang aku minder dan kurang banyak berteman. Selama ini aku menjalin hubungan dengan temanku yang bernama Prast. Prast tidak terlalu good looking, namun bisa dikatakan point tujuh, berkulit gelap, tinggi kurus. Bulu matanya kata teman-temanku indah seperti bulu mata cewek. Namun ada sesuatu yang lebih dari sekedar tampilan fisik. Setelah membaca ceritaku, mungkin anda akan paham apa yang dinamakan pria idaman, bagaimana definisinya. Mungkin ini pulalah yang membuat dia banyak mempunyai teman wanita, yang terus terang terkadang (meski jarang) aku agak sedikit cemburu. Menurut ceritanya, dia hanya telah pacaran dengan beberapa cewek, namun kurasa pasti lebih dari puluhan. Dengan dia pulalah aku pertama kali mengenal hubungan seks dan ternyata aku sangat menyukainya. Kami melakukannya hampir setiap malam.

Peristiwa ini berawal 3 tahun yang lalu ketika aku masih kuliah. Waktu itu aku ke rumah Prast. Seperti biasa kami nonton film di rumahnya. Kebetulan waktu itu Prast punya film bagus yang judulnya Powder. Kami rebahan sambil ngobrol. Sementara Prast asyik merokok. Selama ini, hubunganku hanya sebatas snogging, necking atau petting saja. Tidak pernah intercourse. Kalaupun ada yang harus disebutkan lagi, paling heavy petting saja. Namun siang itu terjadi sesuatu yang tidak kami perkirakan sebelumnya. Entah siapa yang memulai, aku atau Prast. Tapi kami saling berpagutan. Sementara tangan Prast masuk ke hem yang kukenakan dan meremas-remas payudaraku.

Satu yang kusukai dari Prast adalah dia selalu membuka bra yang kukenakan tanpa menggunakan tangan, tetapi menggunakan gigi. Itupun tanpa perlu melepas baju yang kupakai. Dia biasanya menggigit hook braku hingga lepas. Aku menyukainya ketika giginya terasa menyentuh punggungku.

Tangan Prast sekarang tidak lagi cuma bermain di payudaraku, namun sudah mulai turun membelai pusarku. Bibirnya pun meniup-niup pusarku. Geli rasanya, namun sangat merangsang. Lidahnya menjilati bulu-bulu yang ada di atas kemaluanku. Bolak-balik dari pusar ke atas kemaluanku. Aku paling suka jika Prast melakukan hal ini. Terutama waktu lidahnya menari menjilati sisi atas, kiri dan kanan dekat kemaluanku. Nikmatnya tidak terkira. Akupun mulai meremas-remas batang kejantanan Prast. Dia sangat menyukainya. Tanganku merogoh masuk ke dalam jeans-nya. Tak puas dengan hanya merogoh, kubuka dan kulepaskan celananya. Celana dalamnya kelihatan penuh dan ujung kemaluannya nongol dari celana dalamnya. Aku tertawa kecil melihatnya, kusentuh dengan menggunakan ujung jariku, Prast menggeliat kegelian dan cekikian. Prast menindihku dan kami bergumul di atas karpet.

Sejauh ini kami hanya bermain sperti ini. Hanya menggesek-gesekkan kemaluan kami tanpa melakukan intercourse. Namun siang itu rupanya lain. Aku meraih celana dalam Prast dan melepasnya, dan Prast pun berbuat demikian padaku. Celana dalamku lepas sudah, sementara baju masih kupakai. Prast sendiri pun demikian. Praktis pusar ke bawah, kami bebas.

Kembali Prast menindihku dibarengi dengan ciuman-ciuman yang mesra. Badanku terasa panas bergelora. Kurasakan badan Prast hangat menindihku. Batang kemaluan Prast menggesek-gesek di belahan kemaluanku. Prast mencoba menusukkannya. Aku pun, jujur saja sudah ingin melakukan persetubuhan, namun aku takut hamil. Tetapi akhirnya Prast membujukku untuk sedikit menggesekkan kepala kemaluannya ke lubang kewanitaanku. Aku menurut saja. Kepala kemaluannya terasa hangat menyentuh klitorisku. Nikmat kurasakan kegelian yang memuncak ketika kepala kemaluan itu menyentuh lembut bibir kewanitaanku. Kami tidak tahan lagi akan sensasi yang tercipta oleh gesekan itu.

Tanpa kusadari, gerakan tubuhku rupanya membuat kepala kemaluan Prast tidak saja menyentuh klitorisku, namun kini telah penetrasi lebih jauh masuk ke lubang kemaluanku. Aku kaget, berusaha menolak. Namun, dorongan untuk mencoba lebih jauh akibat kenikmatan itu telah membutakanku. Kupikir sebentar lagi saja, ah. Tanggung. Aku kaget setengah mati ketika kutarik kemaluan Prast terlihat darah di kepala kemaluannya. Kupikir ini pasti darah keperawananku. Aku menangis, menyesal. Kenapa tidak berhenti waktu kemaluan Prast hanya menyentuh klitorisku. Kembali aku menangis dan menangis menyesalinya. Prast mencoba meredakan tangisku. Namun aku tetap merasa tidak tenang. Akhirnya kuputuskan untuk pulang saja ke kost-ku.

Seminggu setelah kejadian itu, aku berpikir bahwa aku sudah tidak perawan lagi. Kenapa juga waktu itu aku berhenti sebelum mengalami kenikmatan. Itu juga tidak akan mengubah keadaan. Menangis pun percuma karena kenyataan akan tetap sama. Akhirnya waktu malam itu Prast datang, aku berhubungan badan dengannya. Lagipula aku ingin menikmatinya. Aku tidak mau membohongi diri sendiri. Kami melakukannya di kursi tamu di teras kost-ku yang gelap.

Aku memang lebih suka memakai rok dibanding dengan celana kalau berada di rumah. Karena itulah, mudah saja bagiku untuk bersenggama di teras. Terlebih lagi, kalau di kost-ku, apalagi kalau sedang kencan dengan Prast, aku memang jarang memakai celana dalam. Aku lebih senang yang praktis seperti ini. Meskipun selama ini kami hanya heavy petting saja atau kubiarkan Prast meraba-raba kemaluanku. Namun malam ini aku memutuskan untuk melakukannya karena aku pun sudah tidak perawan, kenapa tidak aku nikmati saja hal ini.

Prast memang ahli dalam foreplay, pandai sekali dia merangsangku sebelum akhirnya kami bersenggama. Rambutku yang panjang sepinggang dinaikkannya dan diciuminya punggung leherku. Turun sampai ke hook bra-ku. Digigitnya pelan dan dilepaskannya dengan mulut. Bagian inilah yang paling kusuka. Gigitannya terasa sangat mesra di punggungku, diangkatnya kaosku dan tangannya terasa mesra membelai punggungku. Aku benci dengan orang yang terburu-buru meremas payudara. Mereka tidak bisa menghargai keindahan seni bercinta.

Aku duduk di atas Prast. Aku merasakan kemaluannya sudah mendesak tegang. Kuraihkan tanganku ke belakang dan menyusup masuk ke celananya. Aku sudah hafal ini. Agak susah memang, namun terasa asyik sekali ketika ujung jariku menyentuh kepala kemaluannya. Perlahan diangkatnya tubuhku. Secara reflek akupun mengangkat rokku sedikit. Dalam posisiku agak sulit untuk melepas kancing celana dan menurunkan ritsluitingnya. Prast membantuku. Kemaluannya kini tegak tinggi. Pernah aku mencoba mengukur kemaluan Prast, panjangnya sekitar 27 senti. Entah itu besar atau hanya sedang-sedang saja. Tetapi indah. Ototnya tampak menggelembung di keremangan terasku yang terpisah tirai bambu dengan jalan raya yang ada di atas kost-ku.

Aku segera menurunkan tubuh sembari membimbing kemaluan Prast ke liang kewanitaanku. Aku turun perlahan, berusaha menikmati segala keindahan yang tercipta dari fantasi cinta kami. Kurasakan agak sakit ketika pertama kali kemaluannya menyeruak masuk ke lubang surgaku. Untungnya kemaluanku sudah basah akibat foreplay yang dilakukannya, sehingga tidak terlalu perih waktu batang kejantanannya penetrasi masuk ke liang senggamaku. Uuugh, nikmatnya selangit. Kurasakan tubuhku memanas dan semakin panas serta melambung tinggi.

Pelan-pelan aku mulai menaik-turunkan tubuhku di atas Prast. Prast pun berusaha mengimbanginya dengan menusukkan batang kemaluannya dari bawah. Sodokan Prast terasa menyakitkan, tetapi juga nikmat. Aku mencoba menurunkan tubuhku secara penuh agar kemaluan Prast masuk semua ke dalam liang senggamaku, namun Prast bilang itu menyakitkan biji pelirnya. Kupikir benar juga. Akhirnya aku memintanya untuk menyodokkan kemaluannya keras-keras dan seluruhnya ke dalam liang kenikmatanku, karena kupikir dialah yang tahu persis apakah itu menyakitkan bijinya atau tidak.

Ternyata kenikmatan yang tercipta akibat sodokan itu sangat hebat. Aku menggeliat-geliat, sementara Prast tetap mencoba menahan tubuhku agar tidak terlalu banyak bergerak dan jatuh ke tubuhnya. Aku merasakan seluruh tubuhku bergetar dengan hebat. Gejolak yang kurasa ketika kami hanya melakukan gesekan kemaluan kalah jauh bila dibandingkan dengan kenikmatan yang tercipta waktu batang kejantanan Prast penetrasi ke lubang kemaluanku. Kalau saja aku tahu kenikmatan yang tercipta sedahsyat ini, pasti aku sudah melakukannya dari dulu-dulu. Lagian apa sih enaknya mempertahankan keperawanan.

Kurasakan batang kejantanan Prast menyodok-nyodok dengan kasar. Aku mencoba bergerak memutar, karena gatalnya kemaluanku akibat sodokannya. Tanpa kusadari, ternyata rotasi tubuhku semakin memperhebat kenikmatan yang kurasa. Selama kurang lebih 15 menit batang kejantanan Prast serasa bagai poros yang mengaduk-aduk isi kemaluanku. Prast pun meracau tidak karuan. Aku semakin menggila akibat kenikmatan itu. Putaranku makin kupercepat, searah jarum dan berbalik melawan jarum jam berbarengan dengan gerakan sodokan Prast. Wow, nikmatnya, bung. Anda harus mencoba hal ini dengan pasangan anda.

Prast memintaku untuk menghentikan sebentar permainan gilaku ini. Aku berpikir, aku memang baru sekali ini melakukannya, tetapi memang bercinta hal yang alamiah. Tanpa belajar pun aku rupanya bisa melakukannya. Sejenak kami terengah-engah dan terperangah oleh permainan kami sendiri. Aku baru tahu, permainan gaya inilah yang nantinya dikatakan Prast sebagai gaya anjing (doggy style). Hanya saja kami melakukannya tidak dengan posisi tubuhku bersandar ke tembok/kursi atau berdiri empat kaki seperti anjing dan ditusuk dari belakang. Kami melakukannya dengan dengan cara duduk, yang ternyata nantinya kuketahui memiliki kenikmatan yang sama namun tidak menyakitkan seperti jika dilakukan dengan posisi tubuh bersandar ke tembok/kursi atau apapun.

Kami hampir tidak percaya kami bisa bercinta sehebat itu. Prast dan aku terdiam sejenak, mencoba mengatur nafas dan menenangkan diri akibat sensasi yang begitu intens dari persenggamaan itu. Kalaupun kami mengetahuinya, kami hanya menontonnya dari film-film yang memang sering kami tonton. Namun mengalaminya sendiri adalah satu hal lain yang benar-benar berbeda. Tidak heran kalau banyak orang yang gemar kawin kalau memang kenikmatannya seperti ini. Tidak heran pula kalau banyak kasus seks pranikah, karena memang enak.

Setelah sekitar 5 menit menenangkan diri dan mengatur nafas, Prast menyuruhku untuk duduk di sampingnya. Kemudian dia menghadap ke arahku dan menusukkan kembali batang kejantanannya ke kemaluanku. Agak susah memang, karena teras kost-ku gelap. Kubimbing batang kejantanannya ke mulut kemaluanku dan secara reflek Prast langsung menusukkan kemaluannya. Oooh, nikmatnya waktu kurasakan kemaluan Prast menggaruk dinding dalam lubang kemaluanku. Kini aku berada di bawah, dengan posisi duduk mengangkang membuka kedua pahaku lebar-lebar. Prast kembali menusukkan dan menggoyang seperti yang kulakukan waktu aku berada di atasnya. Hujaman itu terasa menggelitik dinding kemaluanku yang semakin gatal. Basah makin kurasakan kemaluanku oleh cairanku yang keluar melumasi bagian dalam.

Aku turut mencoba menggoyangkan pantatku, namun agak sulit, karena aku di posisi bawah. Akhirnya aku mencoba mengimbanginya dengan menggoyang ke kiri kanan saja. Tangan Prast yang tadinya bertumpu pada pegangan kursi panjang kuangkat agar meremas payudaraku. Aku sudah tidak tahan lagi. Sensasi ini sudah demikian menggila. Pundak Prast kugigit. Kepalaku terhentak ke kanan dan kiri. Kukibas-kibaskan rambut panjangku. Tak puas, kujambak rambutku sendiri akibat kenikmatan yang kurasa.

Sudah setengah jam lebih kami bersetubuh, namun belum tampak tanda-tanda Prast akan mengakhirinya. Sementara aku sudah gilanya menikmati setiap tusukan batang kejantanannya yang disertai goyangan memutar. Kurasakan bagai tombak yang menghujam. Mengaduk-aduk seluruh syaraf nikmat yang ada dalam kemaluanku. Kalau tidak takut ketahuan oleh teman sekost, mungkin aku sudah berteriak-teriak, mengekspresikan segala kenikmatan yang kurasa.

Tidak tahan lagi aku mencapai puncak setelah sekitar 45 menit bersenggama. Entahlah, apakah itu tergolong lama atau tidak, namun kenikmatan yang kurasa tak mampu kutahan lagi. Dahsyat sekali waktu aku mencapai orgasme senggama pertamaku ini (kalau orgasme akibat gesekan saja sih aku sudah sering mengalaminya, itu pun setelah satu jam atau lebih). Basah kurasakan sampai pahaku, mungkin akibat cairanku yang meluap-luap. Aku menjambak rambutku sendiri. Kedua pahaku kurapatkan, kakiku mencengkeram pinggangnya dan menariknya, memaksanya untuk memasukkan batang kejantanannya secara penuh ke liang senggamaku. Nikmat sekali mencapai orgasme. Prast berbisik lembut agar aku menahan dan tetap bercinta. Anggukanku dibalasnya dengan tusukan tajam yang makin cepat. Kubiarkan saja dia mengobrak-abrik dinding kemaluanku. Pasrah, namun tetap berusaha mengimbangi dan menikmati sembari berharap semoga dia tidak langsung keluar.

Benar saja, baru setelah dua puluh menit aku orgasme, Prast baru mencapai orgasmenya. Dia meracau tidak karuan dan menggenggam pundakku kencang-kencang. Sakit, tapi kucoba menahannya dengan mengatupkan gigiku karena aku tahu Prast memerlukannya. Segera dicabutnya batang kemaluannya dari kemaluanku dan langsung dikocoknya di depanku. Spermanya muncrat dan ditumpahkannya ke payudaraku. Ada sebagian yang mengenai wajahku dan tembok di belakangku. Oooh, nikmatnya, waktu kurasakan hangat spermanya menyentuh kulit payudara dan wajahku. Langsung kuusap. Aku tidak mau begitu saja melewatkan kehangatan spermanya di atas puting payudaraku. Diciuminya aku, kubalas dengan pagutan mesra. Nikmat dan mesra sekali kami malam itu. Meskipun pemula, kini aku tahu teknik untuk menghindari kehamilan dengan mengeluarkan batang kejantanannya dari liang kewanitaanku dan mengocoknya untuk membantu Prast orgasme.

Pengalaman pertama bersenggama inilah yang mungkin akhirnya mempengaruhiku menjadi cewek yang bisa dikatakan gila seks. Bayangkan, kami melakukan ini dua sampai tiga kali setiap malam (kecuali kalau aku sedang menstruasi, tentunya) dengan berbagai gaya yang berbeda. Prast memang pandai dalam membuatku jadi pecinta yang gila, dan yang aku herankan, aku yang pendiam ini terbawa permainannya. Lebih-lebih lagi, kata Prast, dia kadang-kadang sampai heran dan kewalahan mengatasi kemampuanku bertahan dalam bermain seks selama lebih dari satu atau dua jam.

Pernah pada suatu hari, ketika itu kami sedang KKN di desa yang memang terpencil, kebetulan kami ditempatkan di desa yang sama, kami minta ijin untuk pulang ke kota, perguruan tinggi kami untuk mengurus proposal dana KKN. Kost-ku sepi karena KKN di universitasku memang dilaksanakan setiap musim liburan, akhirnya Prast memutuskan untuk menginap di tempatku. Kami bercinta seharian, baik di kamarku, ruang tamu, dapur ataupun kamar mandi. Selama tiga hari kami nikmati kebebasan itu dengan bercinta. Berbagai gaya kami coba karena gairah yang kami pendam hampir sebulan lebih di desa KKN tidak mampu melakukan percintaan.

Siang itu sebelum kami kembali ke desa KKN, kami bercinta sampai menjelang petang. Prast dan aku rebahan di ruang tamu sambil nonton TV. Namun berakhir dengan bergumul, saling mencium. Rangsangan yang dilakukannya sangatlah efektif. Kami yang waktu itu baru saja selesai mandi setelah bercinta, kini mulai terlibat foreplay lagi, yang tampaknya akan disusul dengan percintaan. Satu yang kucinta dari cowok ini adalah kepandaiannya melambungkan emosiku naik turun. Kadang dia bergerak cepat tanpa menghilangkan kemesraan, lalu menurunkan temponya begitu saja seolah tidak niat bercinta dan menungguku untuk aktif memulai percintaan.

Begitu juga siang itu, setelah merangsangku habis-habisan, tiba-tiba dia berhenti diam mematung. Aku yang sadar akan hal itu segera bertindak aktif sebelum suasana menjadi dingin. Aku harus menciumnya dan melepas celananya tanpa menggunakan tangan. Fantasi kami memang cukup liar, kugigit lepas kancing bajunya satu persatu, kuciumi seluruh dada dan perutnya. Lidahku menari menyusuri sampai ke pusar dan kususul dengan kancing celananya. Agak sulit memang, karena tanganku kubiarkan saja diremas oleh Prast. Setelah kancing celana lepas, barulah celana itu kulepaskan dan baju Prast kulepas.

Prast menyuruhku untuk mengambil bantal dari kamarku. Aku heran, gaya apa lagi yang akan kami lakukan, namun kuturuti saja. Aku disuruhnya untuk rebah dan ternyata bantal itu ia pakai untuk mengganjal pantatku. Akibatnya, kemaluanku kurasakan mengembang dan terbuka lebar. Aku heran, tahu darimana dia tentang hal ini. Perlahan, diciuminya pusar dan daerah sekitar kiri dan kanan kemaluanku. Rasanya sungguh menggelitik. Aku gemas dan meraih kepalanya lalu mengarahkannya ke liang senggamaku. Setelah puas menciumi lalu dia mulai menjilati bagian dalam kemaluanku. Dia menyuruhku untuk tidak memakai tanganku. Uuugh, rasanya ingin rasanya aku menempeleng dia akibat siksaan kenikmatan yang amat sangat. Aku tidak mampu berbuat apa-apa. Tanganku hanya mampu mengepal dan mengejang di samping tubuhku, sementara dia dengan bebasnya menjilati klitorisku dan bibir kewanitaanku yang terbuka lebar. Dia tiup lubang senggamaku dengan mesranya, dingin. Kembali aku terbuai, karena tiupannya disusulnya dengan gigitan pada bibir kemaluanku yang kurasakan makin gatal dan panas.

Akhirnya saat yang kunanti tiba juga. Dia mulai bangkit dan dengan mudahnya memasukkan batang kejantanannya ke lubang senggamaku yang terbuka lebar menganga. Tanganku mengangkat ke atas sementara Prast bertumpu pada kedua tanganku. Teriknya siang itu jadi bertambah panas dengan percintaan kami berdua. Kami terdiam beberapa saat lamanya tepat setelah Prast melakukan penetrasi. Aku hapal dia, Prast sedang berusaha menikmati kehangatan bagian dalam kemaluanku. Memang, waktu kami berhenti dan diam, aku bisa merasakan denyutan batang kejantanan Prast dalam lubang senggamaku. Sementara lubangku pun juga berdenyut-denyut memijit batang kemaluannya. Keadaan diam itu justru menambah kenikmatan. Prast memang pandai dalam bercinta. Dia pulalah yang mengajariku cara untuk menggerakkan otot kemaluanku, terutama bibir dan dinding kemaluanku, sehingga aku bisa memijit batangannya tanpa harus melakukan gerakan apapun. Inilah yang kami lakukan siang itu. Mencoba menikmati dalam keadaan diam dengan merasakan denyutan batang kemaluan Prast dan pijitan liang senggamaku.

Setelah beberapa lama, Prast akhirnya bergerak juga naik turun menusukkan batangannya ke lubang senggamaku. Aku secara naluriah mengimbanginya dengan menggoyangkan pantatku. Ternyata bantal yang di taruhnya di pantatku sangat menolong. Biasanya agak susah untuk mengoyangkan pantatku akibat tekanan Prast, namun kali ini gampang saja, karena relatif lebih licin. Hampir lebih dari satu jam kami melakukannya sebelum akhirnya Prast mengangkatku untuk berganti gaya.

Tanpa melepas senjatanya dari liang kemaluanku, Prast mengangkat tubuhku yang relatif kecil (beratku 41 kg). Agak susah memang, tapi dia memang pintar. Waktu dia mencoba mengangkat tubuhku, otomatis aku memeluknya erat dan ini membuat batang kemaluannya tenggelam lebih dalam ke lubang senggamaku. Sementara itu, waktu tubuhnya telah tegak dan aku menggelayut memeluk lehernya, tangannya mengangkat pahaku agar burungnya tidak lepas dari sarangku. Betisku (sebenarnya tungkai) kulingkarkan ke lehernya untuk membantu dia agar aku tidak terjatuh. Dan waktu dia mencoba memperbaiki posisi berdirinya sembari memanggulku, inilah yang kurasakan sangat intens. Batang kejantanannya dengan kasar menyodok kelaminku karena memang tidak ada kontrol waktu tubuhku diangkatnya agar posisi kami lebih baik. Lalu dengan kasarnya tubuhku dilambung-lambungkan pelan. Hujaman batang kemaluannya kurasakan sangat menyiksaku. Tetapi justru tusukan yang terasa kasar, dalam dan tidak terkontrol ini malah menambah intens ketegangan kemaluan kami berdua.

Tetap dalam posisi yang sama, disandarkannya punggungku ke tembok. Waktu dia berjalan ke tembok, karena aku masih menggantung dan kemaluannya masih tetap tertancap di lubang senggamaku, maka sangat terasa hentakan ketika Prast melangkah dan ini membuatku makin gila. Setelah bersandar barulah aku agak tenang. Kami mencoba berhenti sebentar untuk menikmati momen ini. Kurasakan batang kemaluan Prast berdenyut naik turun meskipun dia dalam posisi diam. Sementara kurasakan lendirku turun melumasi batang kejantanan Prast. Kemaluanku pun terasa berdenyut-denyut.

Kulihat Prast merem melek menikmati remasan lubang senggamaku atas batang kejantanannya. Lembut aku diciumnya. Karena sulit untuk mendapatkan kenikmatan waktu bersandar di tembok, aku meminta Prast agar menggendongku keliling ruang tamu. Sebenarnya ini hanya alasanku saja, karena aku telah dibutakan oleh sensasi kenikmatan kasarnya sodokan senjatanya yang tadi kurasakan waktu dia memanggulku. Prast mengiyakan dan langsung mengangkat kembali tubuhku dengan memperbaiki sanggaan atas pahaku dan membawaku berjalan keliling ruang tamu. Pelan saja, pintaku, yang dijawabnya dengan anggukan. Wajahnya tenggelam diantara kedua belah payudaraku yang tidak terlalu besar (dada 34B, lingkar pinggang 27″).

Aduh, nikmatnya merasakan tusukan kasar dalam gerakan jalan lambat seperti ini, batinku. Makin lama, kurasakan jalan Prast bertambah cepat dan hentakan yang terasa makin kuat. Tempo permainan itupun makin cepat. Tanganku makin erat melingkari lehernya. Aku tidak mau jatuh. Sedangkan aku juga tidak mau begitu saja Prast menanggung berat badanku dengan kedua lengannya. Hentakan batangannya makin lama makin hebat. Aku mengerang. Kutancapkan kukuku di punggungnya. Aku hampir orgasme. Inikah kenikmatan cinta?

Setelah mengelilingi ruang tamu empat kali aku akhirnya mencapai orgasme yang sangat nikmat. Direbahkannya aku di meja dapur dan dibiarkannya aku menikmati puncak kenikmatan itu. Tusukannya dipercepat di atas meja itu. Kakiku yang sekarang terangkat di pundaknya, mengejang. Sementara tanganku berpegangan erat pada kedua sisi meja dan tangan Prast bertumpu pada pundakku. Tiba-tiba dicabutnya batang kemaluannya dari lubang surgaku dan dikocoknya di hadapanku. Rupanya ia pun hampir mencapai orgasme. Tak lama kemudian, dimuncratkannya spermanya ke pusarku. Ada sekitar tujuh kali semburan dahsyat disertai beberapa kali muncratan sisa spermanya. Bahkan wajahku pun bersimbah sperma yang tidak sengaja muncrat, bercampur dengan keringat akibat teriknya matahari siang itu dan senggama kami. Puas rasanya siang itu.

Satu hal lagi yang kusukai dari Prast adalah kekuatannya bersenggama. Meskipun telah beberapa kali bersenggama dan memuntahkan spermanya, ia masih kuat untuk melakukannya lagi ketika kami mandi berdua siang itu. Butuh waktu dua jam bagi kami untuk mandi dan bersenggama lagi setelah lebih dari satu jam bersenggama sebelumnya siang itu. Kami mandi di dua kamar mandi yang berseberangan tanpa menutup pintu sebelum akhirnya memutuskan untuk mandi bersama dan bersetubuh lagi di kamar mandi.

Pernah suatu kali kami mencoba main dengan gaya kasar. Kata Prast ini adalah “bondage” atau penyiksaan. Beberapa kali aku pernah melihatnya waktu kami nonton film blue jepang. Apa salahnya ini kami praktekkan pula.

Waktu itu dua hari setelah ulang tahunku ke duapuluh tiga di bulan september. Mahasiswa baru biasanya masuk sekitar bulan agustus. Sementara mahasiswa lama baru mulai kuliah sekitar awal september. Itupun masih banyak yang bolos hingga akhir september, bahkan lebih. Kost-ku memang masih sepi, karena mayoritas isinya mahasiswa senior. Sebenarnya bisa saja kami bercinta di rumah Prast, karena ia memang tinggal sendirian. Tetapi kami lebih suka melakukannya di kost-ku.

Malam itu, hari rabu sekitar jam delapan lebih (karena layar emas di TV swasta sudah mulai), kami bercinta. Kali ini tanpa foreplay, Prast menyuruhku untuk mengambil sabuk. Aku turuti dan kuambil sabuk kimonoku. Ternyata sabuk kain itu dia gunakan untuk mengikat tanganku. Direbahkannya aku di tempat tidurku. Tanganku menghadap ke atas. Diciuminya aku dengan kasar. Seperti yang telah kukatakan, kami berdua memiliki fantasi seksual yang liar. Meskipun aku pendiam, namun urusan seks aku sangat berpikiran progresif. Kalau ada sesuatu yang baru, kenapa tidak dicoba untuk sekedar menyegarkan suasana.

Prast masih duduk di atas tubuhku, ketika tiba-tiba dirobeknya bajuku dengan kasar. Aku menyukai gayanya. BH-ku pun direnggutnya. Padahal biasanya dia menggigit hook BH-ku sampai lepas. Kali ini sangat berbeda. Setelah itu, giliran rokku yang ditariknya ke bawah hingga kancingnya pun lepas. Seperti telah kukatakan, aku lebih senang memakai rok tanpa celana dalam. Kini aku telah telanjang bulat di hadapannya.

Dia lalu berdiri dan melepas kaos serta celananya satu persatu hingga polos. Kulihat batang kemaluannya mengacung tinggi di atasku. Oooh, indahnya. Dia turun dari kasur dan tubuhku diseretnya hingga kakiku berjuntai di pinggir tempat tidur. Posisi pantatku yang berada di bibir tempat tidur membuat kemaluanku merekah lebar. Sementara tanganku masih terikat ke atas. Dengan kasarnya dipukulkannya batang kemaluannya ke liang kewanitaanku. Sakit sekali rasanya, tapi aku telah terbuai oleh kenikmatan yang akan kunikmati.

Pelan-pelan dia naik ke ranjang dan ditamparkannya kembali batang kemaluannya ke pipi kanan dan kiriku berulang-ulang. Turun dari ranjangku, diambilnya ikat pinggangnya yang kubelikan untuk hadiah ulang tahunnya. Ujung ikat pinggang yang terbuat dari logam itu dipukulkannya ke perut dan kemaluanku. Nikmat sekali rasanya meskipun sakit. Aku mengaduh kesakitan, namun memintanya untuk terus menyakitiku. Tiba-tiba dimasukkanya dua jarinya ke dalam lubang kewanitaanku dan dihujam-hujamkannya dengan kasar. Sementara tangan kanannya digunakannya untuk menjambak rambutku. Kini posisiku seperti udang goreng, melengkung. Satu karena jambakan Prast, dan yang satu lagi karena hunjaman jarinya atas liang senggamaku.

Tidak puas dengan dua jari, kini tiga jarinya dimasukkan ke lubang senggamaku. Jari telunjuk dan manis masuk ke lubang, sementara jari tengahnya menggosok-gosok klitorisku, terasa geli setengah mati. Nikmat bercampur geli, namun aku tidak bisa berbuat-apa-apa karena terikat. Tanganku yang terikat tidak memungkinkan aku bergerak bebas. Kakiku menendang ke sana ke mari. Tiba-tiba Prast menghentikan hujamannnya. Diambilnya sabuk yang tadi dipergunakannya untuk mencambukku. Diikatnya kakiku dengan sabuk itu. Satu ke kaki tempat tidur kiri dan kaki kananku diikatnya dengan tali tasnya ke kaki kanan ranjangku. Kini aku tergeletak mengangkang, terikat, telanjang dan tidak berdaya bagaikan wanita jepang dalam film blue.

Prast kulihat kembali mendekati diriku dan menciumi liang kewanitaanku yang terbuka lebar. Diambilnya bantal dan diganjalkannya ke bawah pantatku. Waktu diganjalkannya bantal itu, karena kakiku terikat, otomatis ikut tertarik dan pergelangan kakiku terasa sakit sekali. Kembali ia naik ranjangku dan disodorkannya batang kemaluannya ke wajahku. Posisinya yang berada di atas tubuhku persis tidak memungkinkanku untuk menghindar. Aku tahu, aku harus mengulumnya seperti layaknya permen saja. Dulu waktu pertama kali aku harus mengulum batang kemaluan Prast, terus terang aku merasa jijik. Tetapi Prast memang mungkin telah mempersiapkan segalanya. Biasanya sebelum memintaku mengulum batang kemaluannya, dia ke kamar mandi dulu untuk mencuci barangnya hingga bersih. Sehingga waktu aku pertama kali mengulumnya tidak terlalu merasa jijik.

Kinipun aku akan melakukannya lagi. Segera kujulurkan lidahku untuk menjilatinya. Aku merasa bagaikan anjing yang memohon pada tuannya untuk diberi makan. Aku jilati ujung batang kemaluannya. Prast merem melek kegelian karena nikmat. Ditariknya lagi batang kemaluannya dan dipukulkannya ke pipi dan mataku berulang kali. Aku mengaduh kesakitan, namun itu tidak akan menghentikannya, karena dia tahu aku menyukai dan menikmati rasa sakit yang kualami. Kusodorkan mulutku untuk mengulumnya, namun Prast kembali menyiksaku dengan jalan menaikkan posisi tubuhnya sehingga aku harus berusaha keras untuk dapat menggapai ujung batang kemaluannya. Tubuhku harus meregang, yang tentu saja kembali menyakitkan pergelangan kakiku meskipun kedua tanganku terikat bebas tidak ditalikan di kedua kepala ranjang.

Tiba-tiba saat tubuhku meregang ke atas mencoba menggapai batang kemaluannya, Prast menurunkan tubuhnya, sehingga tak ayal lagi seluruh batang kemaluannya yang sepanjang 27 cm masuk memenuhi seluruh rongga mulutku dan menyentuh anak tekakku. Hampir aku muntah dibuatnya. Bagaimana tidak, kemaluannya yang kupikir cukup panjang itu masuk sampai ke tenggorokanku. Aku sampai tersedak dibuatnya. Segera kukatupkan bibirku ke dalam gigiku sehingga tidak akan melukai batang kemaluannya. Aku tahu ini karena pernah Prast marah karena gigiku menggores batang kemaluannya. Aku segera membasahi batang kemaluannya dengan ludahku, lalu kukulum keluar masuk dengan sangat tersiksa karena kakiku sakit terikat. Prast tidak tinggal diam, tubuhnya maju mundur (naik turun) memasukkan seluruh batang kemaluannya ke dalam mulutku. “Emppfffh!” Aku tersentak-sentak karena tenggorokanku terisi penuh oleh kemaluannya.

Dia tidak berhenti begitu saja. Tangannya terulur ke belakang dan ujung putingku ditariknya keras-keras. Akibatnya akupun secara reflek dengan bibir terkatup ke gigi menggigit kemaluannya. Mungkin inilah yang menyebabkan dia merasa begitu menikmati permainan ini. Kusedot keras-keras batang kemaluannya, seiring dengan mengerasnya putingku ditarik. Dicubitinya putingku agar hisapanku tambah kencang. Aku tahu apa yang dia sukai dan dia tahu apa yang kubutuhkan. Kenikmatan kasar.

Setelah beberapa lama dicabutnya batang kemaluannya dari mulutku dan kini aku mulai menjilati buah pelirnya. Aku sruput buah pelir yang berbulu tipis itu. Pernah satu kali Prast menamparku karena aku menyedotnya terlalu kencang. Kini, kuberanikan lagi untuk menyedotnya kencang-kencang agar dia menamparku dan aku terpuaskan. Namun reaksinya berbeda. Bukan tamparan yang kuterima, tetapi tangannya meraih jauh ke liang kewanitaanku dan menepuknya keras-keras. Aku mengaduh kenikmatan.

Sekarang dia berdiri di atasku. Kulihat kemaluannya naik turun pertanda nafsu yang memburu tidak karuan. Nafasku pun tersengal-sengal karena ingin mendapatkan kenikmatan yang lebih dari sekedar mengulum batang kemaluan. Aku tertawa terkikik. Prast tersenyum, paham maksudku. Dia turun dari ranjang dan kembali memukulkan batang kemaluannya ke kemaluanku. Batang kemaluannya yang basah oleh ludahku dengan mudah menerobos liang kewanitaanku. Dihujamkannya dengan keras sehingga tubuhku terangkat naik ke atas ranjangku. Kembali kakiku terasa sakit karena tertarik oleh hentakannya itu. Jempolnya tidak diam, namun turut menekan dan memainkan klitorisku.

Aku semakin gila dan kepalaku terayun-ayun ke sana ke mari. Kenikmatan yang kurasa tak tertahankan lagi. Aku jebol dan mencapai orgasme yang teramat sangat tinggi. Baru kali ini aku merasa nikmat dan sakit dalam waktu yang bersamaan setelah lebih dari setengah jam bercinta, itupun itu tidak hanya satu kali saja. Karena Prast tidak menghentikan permainannya meskipun dia tahu aku sudah orgasme. Dia belum, itu yang dia pikirkan. Mau tidak mau aku harus tetap melayaninya. Hujaman demi hujaman yang disertai tekanan atas klitorisku kembali merangsangku dan membuat aku mampu mengimbangi permainannya.

Alat kelamin Prast tetap tegar menusuk lubangku dengan kasarnya. Berulang-ulang kulihat Prast membasahi jarinya dengan ludahnya dan menggunakannya untuk melumasi klitorisku. nikmatnya kurasa sampai ke ubun-ubun. Liang kewanitaanku kembali berlendir setelah agak kering karena orgasme telah lewat. Perih yang kurasakan kini hilang kembali berganti kenikmatan tusukan Prast yang disertai goyangan memutar. Batang kemaluannya kurasakan bagai bor tumpul yang mendera dinding kelaminku. Ujung batang kemaluannya terasa menyodok-nyodok dinding rahimku. (Kalau batang kemaluan anda cukup panjang, pasti inilah yang akan dirasakan oleh pasangan anda).

Tangan kanan Prast kembali beraksi. Kini dengan memukuli pantatku yang terganjal bantal. Sakit tapi nikmatnya terasa sekali, sementara jempol dan jarinya bergantian memainkan klitorisku dan batang kemaluannya menyodok liang kewanitaanku. Semakin sakit aku merasa semakin nikmat. Namun kami bukan pasangan masochis. Kami hanya sekedar bereksperimen dengan gaya bercinta. Aku kembali mengejang karena orgasme, sementara Prast kulihat masih tegar dan menikmati permainan ini. Dua kali sudah aku orgasme. Mungkin inilah yang disebut sebagai multi orgasme. Bahagia sekali rasanya memiliki pasangan yang mampu memuaskan nafsuku.

Prast pun sangat menyukai hal ini. Aku yang dianggap sebagai gadis desa pendiam dan rendah diri oleh teman-teman sekelasku di kampus sebenarnya adalah maniak seks. Sementara orang melihat Prast sebagai pemuda yang kekanak-kanakan karena kesenangannya akan kartun dan video game. Tidak seorang pun yang menyadari bahwa sebenarnya kami adalah pasangan yang sangat panas dalam bercinta.

Hampir dua jam sudah Prast meyetubuhiku dan belum tampak tanda-tanda dia akan orgasme juga. Kekuatan dan gaya bermain seksnya yang mungkin menjadikan aku makin cinta kepadanya. Kuturuti kemauannya untuk terus bersenggama sampai kapan pun.

Dua puluh menit kemudian barulah Prast mulai tampak goyah. Pertahanannya tampaknya akan segera jebol. Aku mulai memompa semangat berusaha memuaskannya. Tetapi apa yang terjadi justru sebaliknya, dia bertambah kencang dan aku bertambah lemah. Tidak, aku tidak boleh kalah, pikirku. Akhirnya aku kembali mengalami orgasme, mengejang keras, menggeretakkan gigi-gigiku karena tangan dan kakiku terikat. Baru lima menit sesudahnya Prast mencabut batang kemaluannya dan bergegas naik ke atas tubuhku dan menjepitkannya di antara kedua belah payudaraku yang ditekannya dengan tangannya sehingga mampu memberi kenikmatan laksana dinding liang kewanitaan. Digesekkannya maju mundur sampai akhirnya spermanya dimuntahkannya di atas payudaraku dan dimintanya aku mengulumnya setelah bersih tidak ada lagi sisa sperma yang menyembur.

Perlahan kurasakan batang kemaluannya mengecil dalam mulutku sehingga dapat kukulum penuh dalam mulutku beserta buah pelirnya. Kami tersenyum puas tepat jam sebelas. Berarti kami bercinta kurang lebih selama tiga jam. Entahlah itu tergolong lama atau tidak, yang penting aku terpuaskan sampai tiga kali dan untungnya aku juga bisa memuaskan Prast meskipun setelah itu kurasakan pergelangan kakiku terasa nyeri akibat ikatan yang terlalu kencang. Malam itu Prast akhirnya menginap di tempatku.

Setelah membersihkan badan, kami rebahan di kasur lipat tipis milik temanku sambil nonton berita menjelang tengah malam salah satu TV swasta. Tubuh kami masih terbalut handuk saja. Namun karena agak dingin, aku mengambil selimut di kamar dan berpelukan agar lebih hangat. Handuk kami lempar ke tempat pakaian kotorku. Kami terbiasa tidur telanjang berdua di rumah Prast. Di bawah selimut, kami berdua berpelukan, telanjang, sembari nonton TV. Segar sekali rasanya mandi setelah bercinta. Pikiranku jadi lebih tenang dan lebih jernih. Entah karena apa aku tak tahu.

Kira-kira jam setengah dua dini hari, saat program TV sudah habis, Prast membopongku ke kamar. Aku kecapaian setengah mati setelah tiga kali orgasme malam itu. Prast selalu memilih sisi kanan ranjang. Itu tidak masalah, karena aku bisa tidur di sisi manapun. Namun ternyata, aku tidak dapat tidur pulas karena Prast selalu menggangguku dengan rabaan-rabaan nakal di pusarku dan bagian atas kemaluanku yang terasa sangat menggelitik. Aku balas dengan mencoba meraba batang kemaluannya, tetapi, astaga, ternyata batang kemaluannya sudah tegang mengacung dan aku tertawa ngakak karena selimut kami jadi mirip tenda pramuka. Digesek-gesekkannya batang kemaluannya ke perutku. Aku yang tadinya kegelian kini jadi terangsang.

Tawaku berubah jadi sensasi aneh yang menjalari seluruh tubuhku. Akupun mulai bereaksi dengan mencari tangan Prast dan membimbing tangannya untuk meraba dan meremas payudaraku. Aku memang terkadang gampang panas. Mungkin ini pulalah yang disukai Prast dariku. Sementara tangannya meremas payudaraku, tanganku bergerak ke bawah, mencoba menggapai batang kemaluannya. Aku selalu menikmati momen-momen seperti ini. Kugenggam batang kemaluan Prast, kurasakan kehangatannya di telapakku dan kupejamkan mataku menikmati segenap sensasi yang muncul. Rasa hangat yang aneh, yang disertai berdirinya buluku seiring dengan sentuhan kulit tubuh telanjang kami berdua di bawah selimut.

Tiba-tiba Prast beranjak turun dari ranjangku dan bergegas ke ruang tamu. Aku heran, kenapa dia berbuat begitu. Ternyata dia mengambil toples yang berisi kripik singkong. Aku memang suka menyimpan keripik singkong yang jadi kesukaannya. Apa lagi yang hendak dilakukannya. Gaya bercinta yang selalu baru membuat aku terheran-heran atas fantasinya. Sekarang apa lagi yang akan terjadi, aku hanya bisa menebak-nebak.

Diangkatnya selimut yang menutupi tubuhku, lalu ditariknya kakiku sehingga badanku terseret agak ke pinggir ranjang. Diremasnya keripik singkong itu kecil-kecil dan ditaburkannya di sekujur badanku. Kini aku sudah mulai bisa menebak jalan pikirannya. Setelah rata ditaburkannya keripik singkong itu di atas badanku, perlahan dia naik ke atas ranjang dan rebah di sampingku. Posisi tubuhnya miring sehingga memungkinkannya bersentuhan langsung dengan kulitku. Dia mulai dengan mencoba menjilati seluruh kripik yang ditaburkannya ke sekujur badanku.

Kini aku dihinggapi sensasi aneh ketika ujung kripik singkong yang kasar tersebut meyentuh kulitku sewaktu akan dimakan Prast. Campuran antara kasarnya ujung singkong dan lembutnya ujung lidah Prast menciptakan fantasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ini sangat berbeda dengan rabaan atau ciuman mesra bibir Prast yang biasanya menghujani punggung dan dadaku. Tanganku memelintir puting payudaraku sendiri keenakan. Kutarik kencang-kencang agar rasa gatal akibat gesekan ujung kasar keripik itu kalah. Tetapi hal ini tidak terlau banyak menolong. Aku makin panas dan bertambah horny.

Kubiarkan lidahnya menari-nari di atas tubuhku, menjilati bersih semua kripik singkong yang ia taburkan. Sementara aku mencoba menikmati segenap sensasi yang timbul dengan berdiam diri. Semakin aku berusaha menekan, semakin tersiksa aku, namun kenikmatan yang kudapat akibat siksaan itulah yang membuatku tetap bertahan untuk mencapai titik akhir yang paling nikmat. Terdengar gila memang, cewek seperti aku yang pendiam ternyata memiliki fantasi seksual yang aneh. Mungkin ini pula yang membuatku melayani Prast untuk main kasar tanpa harus menjadi seorang sadomasochis. Prast lah yang mengajari semua yang aku tahu, termasuk semua istilah seksual yang tadinya adalah tabu bagiku. Karena Prast pulalah, fantasi seksualku makin menggila. Tampaknya aku memang berpotensi untuk memiliki fantasi seksual yang agak sakit.

Tak perlu kukatakan betapa nikmatnya waktu lidahnya berputar-putar di sekeliling putingku karena aku yakin pasti anda sudah tahu. Namun waktu lidahnya mulai menjilati pusarku, inilah bagian yang paling kusukai. Aku justru merasa sangat terangsang ketika jemari atau lidah Prast membelai bagian antara pusar dan lubang kelaminku. Tanpa dimintapun, Prast sudah tahu dan sedikit berlama-lama ketika mencapai bagian ini. Pria satu ini memang penuh pengertian dan jagoan bercinta.

Setelah puas dengan sedikit foreplay, Prast berbisik lembut kepadaku untuk mengambil agar agak memiringkan badanku. Pasti ada posisi baru, bathinku. Aku turuti kemauannya, kumiringkan badanku ke kiri. Prast segera mengambil posisi di dekat selangkanganku dan menelentangkan badannya. Selangkangan kami bertemu. Aku mulai paham, poros bertemu poros. Kaki kanan Prast di dadaku, sedangkan yang kiri di punggungku. Begitu pula dengan kakiku yang ada di dada dan di bawah punggungnya yang sengaja diangkatnya sedikit. Perlahan Prast menusukkan batang kemaluannya ke lubang kewanitaanku.

Nafasku tertahan waktu Prast memintaku untuk beringsut mendekat. Seiring aku mendekat, batang kemaluannya makin terbenam ke lubang senggamaku dan gerakanku menciptakan sensasi aneh. Mungkin ini terjadi karena batang kemaluan Prast secara tidak beraturan membentur dinding liang kewanitaanku. Posisi gunting seperti ini sungguh memberi kami kenikmatan yang teramat sangat. Ini kurasakan karena dengan posisi begini, batang kemaluan Prast bisa masuk seluruhnya ke dalam liang kewanitaanku. Bahkan kurasakan tulang kemaluannya keras membentur dinding luar lubang liang kewanitaanku.

Untuk memudahkan gerakannya, Prast sedikit mengangkat tubuhnya dengan jalan bertumpu pada tangannya. Posenya seperti orang senam kuda-kuda pelana. Kakinya sedikit menekuk tepat di depan perutku. Dengan cara seperti ini, tubuhnya bisa bergerak seperti naik turun, tapi dalam kondisi miring. Dia memulainya dengan gerakan perlahan, namun secara pasti makin bertambah cepat. Tubuhku terhentak-hentak tidak karuan karena sodokannya dari bawah tersebut. Aku berusaha untuk turut bergerak, namun terasa agak sulit, dan terlebih lagi Prast memintaku untuk menikmati saja setiap tusukannya. Aku tidak tahan, lagi. Ayo kundalini, tahan orgasmemu sebentar lagi, bisikku dalam hati. Terus terang sangat sulit bagiku untuk tidak langsung orgasme dengan posisi senggama seperti ini.

Aku berusaha menahan orgasme dengan menekan kenikmatan yang kurasakan. Secara psikologis aku memang agak tertekan kalau begini. Aku tahan semampuku, namun jebol juga pertahananku. Aku tidak kuat lagi untuk menahan segenap cairan yang sudah meluap-luap di dalam kemaluanku. Aku rengkuh betis Prast dan kutarik sekuatnya agar batang kemaluannya terbenan seluruhnya ketika aku orgasme. Kutahan beberapa waktu dan Prast menurut saja. Kupikir dia tahu aku mencapai puncakku. Kurasakan hangat dan nikmat. Aku pasrah saja dan membiarkan Prast melanjutkan permainan kami. Lagian aku juga menikmati setiap tusukan Prast ketika kami bersenggama.

Tak lama kemudian kulihat lutut Prast sedikit bergetar. Pasti dia sudah hampir memuncak, pikirku. Dan benar saja. Gerakan Prast cepat dan bertambah cepat serta tidak teratur. Kini dia tidak saja menghujamkan batang kemaluannya, namun juga menggoyangkannya. Mau tidak mau aku yang tadinya pasrah menikmati, akhirnya jadi tambah tinggi juga karena tusukan yang disertai goyangan ini. “Ehhhg…”, jeritku tertahan. Aku mencoba menahan diri ketika kurasakan Prast mencabut batang kemaluannya dan duduk mendekatiku. Secara refleks, langsung kukocok batang kemaluannya, sementara tangan Prast meraih liang kewanitaanku dan memainkan klitorisku dengan jari tengahnya (mungkin karena hal ini tanda jari tengah dianggap “saru”). Dengan gemasnya jari Prast menekan-nekan klitorisku, dan ini membuatku makin terangsang.

Segera saja kumasukkan sebagian batang kemaluannya ke mulutku dan aku oral dia, keluar masuk mulutku sambil kumainkan lidahku di glan batang kemaluannya. Tak tahan dengan hisapan dan jilatan lidahku, Prast akhirnya memuntahkan seluruh spermanya. Ditekannya kepalaku agar seluruh batang kemaluannya masuk ke mulut, dan benar-benar menyentuh anak tekakku. Kurasakan enam kali semburan keras diikuti beberapa kali semburan kecil. Semua spermanya tertelan olehku. Aku hampir muntah ketika batang kemaluannya menyentuh anak tekakku. Untung aku sudah agak terbiasa dengan batang kemaluannya yang, menurutku, lumayan panjang. Sebenarnya aku agak jijik kalau harus meminum spermanya. Tapi kali ini apa boleh buat, ini juga tidak terhindarkan dan langsung masuk ke tenggorokanku. Ketika itu akupun tidak terlalu merasakan jijik karena sedang terbuai kenikmatan jari Prast yang dengan kerasnya menekan dan memutar-mutar di klitorisku serta meremas bibir kemaluanku dengan ganasnya. Perbuatannya memaksaku untuk mencapai orgasme kedua yang hanya berbeda beberapa saat dengan saat Prast mencapai puncaknya.

Hari itu kami bangun agak telat, pada saat acara musik TV swasta yang ditayangkan setiap jam 08.30 pagi sudah hampir usai. Kami nikmati hari berdua saja dan hanya keluar rumah kost untuk membeli makanan. Mungkin lain kali akan kuceritakan pengalaman lainnya yang tidak kalah menariknya. Semoga yang satu ini mampu menghidupkan suasana di tempat anda dan menjadi referensi anda bercinta atau sekedar bacaan iseng saja jika senggang.

Keindahan pengganti

Keindahan pengganti

Cerita ini merupakan kisah pribadi saya yang terjadi sekitar tahun 1999. Cerita ini berawal ketika saya mulai melanjutkan studi di satu perguruan tinggi swasta di kota Bandung. Saya sendiri datang dari daerah yang terpencil jauh dari keramaian dan pergaulan kota.

Nama saya Kaka, usia sekarang 25 tahun. Saya dibesarkan di keluarga yang sangat keras. Walaupun bukan dari kalangan militer, namun ibu selalu mendidik saya dengan keras. Dan hasilnya memang terbukti, saya menjadi anak mami yang super penurut dan alim. Dalam hal pendidikan pun saya selalu masuk ranking.

Kerasnya ibu dalam mendidik saya, telah menjadikan saya sebagai seorang pemuda ‘kuper’. Saya tidak biasa mengikuti trend mode terbaru yang selalu ditiru oleh pemuda-pemuda lain. Tapi biarlah itu tidak terlalu masalah bagi saya. Ibu sangat melarang keras saya untuk mempunyai pacar, alasannya takut mengganggu sekolah. Namun bagaimana pun pembaca, saya ini seorang pria normal yang membutuhkan teman wanita untuk berbagi cerita suka dan duka.

Secara diam-diam saya menjalin kisah cinta monyet di SMA kelas dua. Namanya Lulu, dia anak orang kaya, cantik, pintar, pokoknya saya cinta berat sama dia. Saya dan dia kebetulan beda kelas, namun saya tetap berhubungan dengan dia selepas bubaran sekolah. Kisah cinta saya dengannya berjalan normal-normal saja. Namun terus terang saja saya kalah agresif dengannya. Saya sendiri sangat malu untuk sekedar menciumnya, walaupun hasrat di hati sangat menggebu-gebu.

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun, saya lalui dengannya sampai akhirnya saya harus pergi ke kota Bandung untuk melanjutkan studi. Sewaktu pergi saya beranikan diri untuk sekedar memberi ciuman sebagai tanda perpisahan. Lucunya.. waktu saya menciumnya, justru dia yang malah mendahului saya, sehingga saya gelagapan sekaligus senang dan nikmat sekali rasanya. Bibir kami saling berpagut hampir 5 menit. Saya pun menikmati permainan ini.

Keesokan harinya, saya pergi ke kota Bandung. Perasaan sedih menghinggapi diri, ketika melihatnya menitikkan airmata untuk melepaskan kepergian saya.

Saya pun akhirnya kuliah, setiap bulan saya selalu berkomunikasi walaupun hanya dalam selembar surat. Saya tidak dapat pulang setiap bulan menemuinya, karena walaupun pulang saya tidak dapat menemuinya karena ibu akan sangat marah kalau saya ketahuan pacaran. Yang lebih parah lagi, kalau ketahuan saya pacaran, biaya kuliah saya akan dicabut.

Tidak terasa saya sudah hampir 5 semester, dan selama itu pula saya tidak berjumpa dengannya. Padahal saya sangat rindu berat untuk bertemu dengannya, hingga suatu peristiwa datang menghampiri kehidupan saya yang merupakan cerita perubahan hidup saya.

Kisah ini terjadi sewaktu saya turut serta dalam sebuah acara kampus, tepatnya penerimaan mahasiswa baru. Tidak sengaja, saya berjumpa dengan seorang mahasiswi, dan ya ampun.., dia itu wajahnya mirip sekali dengan Lulu pacar saya di SMA itu. Wajahnya, bodynya, rambutnya, pokoknya segalanya dech, namun yang ini, lebih seksi, terlihat dari bentuk payudaranya yang aduhai.

Lanjutnya saya pun menjalin kisah asmara dengannya. Namanya Hani, asalnya dari Sumatra, dan kebetulan saya satu fakultas dengannya. Kisah asmara ini berbulan-bulan berjalan tanpa sepengetahuan ibu.

Suatu hari saya mengajaknya ke kontrakan saya di sekitar jalan Setiabudi. Di kontrakan saya, dia menonton televisi, sedangkan saya hanya memandangi wajahnya yang menurut saya itu adalah Lulu. Kebetulan waktu itu Hani memakai pakaian kaos ketat warna hitam, sehingga nampak sekali payudaranya menonjol.

“Kenapa lihat-lihat, ada yang aneh?” tanya Hani ketika saya sedang memperhatikannya.
“Nggak.. cuma lagi menikmati ciptahan Tuhan.” jawab saya.
“Ciptaan Tuhan..?” ujar Hani sambil menatap saya.

Saya tatap matanya yang bening, saya dekatkan wajahnya, lalu secara refleks bibir saya mendekati bibirnya.
“Jangan ach..,” ucapnya sambil memalingkan wajahnya.
Namun kerinduan saya terhadap Lulu telah mendorong saya untuk lebih berani mendekatinya. Saya peluk dia dari belakang, tangan saya memeluk kedua perutnya, sedangkan wajah saya menciumi rambutnya. Saya gesekkan hidung terhadap rambutnya, akh… wangi sekali rambutnya.

Kali ini Hani diam saja. Pelan-pelan saya tarik tangan ke atas menyentuh payudaranya. Hani pun hanya terdiam dan nampaknya dia pun sangat menikmati permainan ini. Akh.., besar sekali payudaranya, tangan pun hampir tidak muat memegangnya.

Masih dalam balutan kaos ketatnya, saya remas perlahan payudaranya.
“Akh..!” Hani mendesis.
Mulut pun beralih ke belakang telinganya, dan.. Hani membalikan tubuhnya, lalu bibirnya mencium bibir saya. Saya kaget sekaligus senang. Saya kulum bibir tipisnya, berpindah dari bibir atas ke bibir bawah, begitulah seterusnya sampai saya hampir merasa kehabisan napas.

Yang paling mengasyikan dari permainan ini adalah sewaktu Hani menyuruh mengeluarkan lidahnya, kemudian Hani menarik lidah saya ke mulutnya dan mengulumnya hingga kadang gigi kami saling beradu. Enak sekali rasanya, tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

Sementara bibir kami saling berpagut, kedua tangan pun mulai beraksi menggerayangi payudaranya. Saya masukkan tangan ke dalam baju ketatnya, dan terasalah ‘gunung kembar’ yang cukp besar. Walaupun masih terbungkus BH, namun tangan saya dapat dengan leluasa meremasnya.

“Kamu nakal..!” ucap Hani sambil melepaskan pagutannya.
Namun saya terus memburunya, kali ini ciuman saya arahkan ke bagian lehernya yang jenjang.
“Oh… Ohh… shh.. akh… terus.. terus..!” desah Hani sambil menekankan kedua tangannya ke kepala sehingga wajah saya amblas di lehernya.

Setelah puas tangan ini meremas kedua ‘bukit kembar’-nya, kali ini saya tarik ke atas baju ketatnya, perlahan tapi pasti. Nampaklah kedua payudaranya yang putih dan mulus, sementara penis ini sudah menegang dan menyilang di dalam celana dalam saya.

Nampak kedua gundukan payudaranya terbungkus BH berwarna hitam. Saya tarik tali belakang BH Hani, dan ola-la… Kali ini Hani sudah tidak memakai BH lagi dan nampaklah sepasang payudara yang besar dan putingnya yang berwarna kemerahan. Saya cium, saya kulum, lalu sedikit gigit putingnya.
“Oshh… achh.. hh… ngg..!” Hani meracau merasakan kenikmatan indahnya permainan ini.
Saya pindahkan ciuman ke payudara sebelahnya dan Hani pun melenguh kenikmatan.

Sementara itu tangan Hani mulai membuka kemeja saya. Satu demi satu kancingnya terlepas, sehingga saya pun tidak memakai baju lagi. Puas memainkan kedua payudaranya, bibir saya mulai memainkan pusarnya dan lagi-lagi Hani melenguh kegelian.

Kali ini birahi sudah sampai di ubun-ubun. Saya buka celana jeans-nya yang membalut pahanya, dan ternyata Hani memakai celana dalam berwarna pink bermotifkan renda. Saya tarik celana dalamnya, nampaklah vagina Hani yang indah, bulunya masih sedikit. Lalu kali ini ciuman saya arahkan ke vaginanya.

“Oh… ah.., shh.., Kaka.. aku udah mo keluar..!” ujar Hani sambil menggelinjang.
Kepalanya menggelinjang ke kanan dan kiri, sedangkan rambutnya sudah acak-acakan. Saya jilat kemaluan Hani yang berwarna sedikit kemerahan, kemudian menyedotnya.
Tiba-tiba.., “Aku keluaaar..!” ujar Hani sambil memelu tubuh saya keras-keras.
Sementara jari tangan saya membantu memutar liang kemaluannya agar Hani dapat merasakan orgasme yang luar biasa.

Melihat peristiwa itu saya sendiri sudah tidak tahan. Saya lepaskan celana jeans saya termasuk celana dalamnya, sehingga kami benar-benar bugil alias telanjang. Hani sendiri nampak kaget melihat penis saya. Penis saya memang tidak terlalu besar namun cukup panjang. Penis saya sudah tegang dan sudah siap untuk tinggal landas.

Nampaknya Hani sudah mengerti kalau saya sudah tidak tahan lagi. Lalu tangannya membimbing penis saya ke lubang kenikmatannya. Saya tekan perlahan batang penis saya ke lubang vagina Hani. Susah sekali. Lalu saya dorong pantat ke depan dan perlahan tapi pasti kepala penis saya masuk ke lubang kenikmatan Hani.
“Oh.. terus. Terus.., dorong lagi..!” ujar Hani kegelian.

Kepala penis saya sendiri terasa ada yang memijat-mijat, enak sekali rasanya. Lubang kemaluan Hani sangat kecil, sehingga penis ini tearasa sangat terjepit. Saya dorong lagi pantat dan bles.., seluruh batang kemaluan saya masuk ke lubang vagina Hani.

Kemudian setengah penis saya tarik keluar, lalu dorong ke dalam seperti gerakan orang sedang push-up.
“Oh.. yes.. yes… terus… terus… aku mo keluar lagi..!” ujar Hani sambil merem melek.
Saya percepat gerakan memompa sehingga terdengar bunyi yang unik yang keluar dari dalam liang senggama Hani. Sementara saya pun sudah mulai merasakan orgasme, saya percepat gerakan push-up, dan tiba-tiba saya merasa sperma mulai mengumpul. Dan, crot.. crot… crot..! Keluarlah sperma diiringi rasa nikmat yang luar biasa.

Sementara Hani sendiri mulai merasakan akan orgasme. Saya cabut penis yang kelelaham setelah bertempur. Saya masukkan jari telunjuk lalu memutar-mutar, saya jelajahi seluruh isi vagina Hani sampai akhirnya Hani merasakan kembali indahnya permainan cinta ini.

Hari-hari berikutnya kami sering mengulangi permainan ini, tentunya dengan variasi dan posisi yang berbeda. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, saya pun sering memakai ‘pelindung’ yang kadang Hani sendiri yang menyediakannya.

Ternyata bercinta itu mengasyikan, layaknya bermain sepak bola. Dimulai dari fore play sampai kenikmatan yang tiada bandingannya. Sementara itu, Lulu nampaknya tidak kuasa menolak keinginan orangtuanya untuk menikah dengan pria pilihan orangtuanya. Saya sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Ucapan saya padanya hanya satu, “Semoga kamu bahagia.”

Kisah cinta saya dengan Hani akhirnya kandas setelah Hani pulang ke Sumatra dan tidak pernah mau menghubungi saya lagi. Permasalahan yang kami hadapi sudah membuatnya melupakan lagi diri saya. Kini saya hidup sendiri lagi dan tentunya tidak dapat merasakan indahnya bermain cinta. Selamat jalan Lulu dan Hani sang pengganti.

Kenangan Ebtanas

Kenangan Ebtanas

Pertama-tama aku mau memperkenalkan diri dulu. Namaku “Eot” (nama panggilan dari orangtua dan teman-teman). Aku sekarang berumur 24 tahun dan sudah bekerja di salah satu perusahaan konsultan swasta di Jakarta. Cerita ini merupakan kisah nyata yang benar-benar terjadi beberapa tahun yang lalu (kira-kira bulan July tahun 1989), saat itu aku baru duduk di kelas 1 SMA di SMA Negeri ‘XXX’ di kota Bandung. Pada saat itu aku punya seorang pacar yang sudah kupacari selama kurang lebih 1 tahun 2 bulan, aku dan dia memang sudah pacaran semenjak di bangku SMP (pada saat itu aku dan dia sama-sama di SMP negeri-Bandung). Pacarku adalah adik kelasku pada saat itu.

“Poppy”, ya Poppy adalah pacar pertamaku pada saat itu, Poppy merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara, kakaknya semua cowok. Poppy tinggal pada sebuah keluarga yang serba berkecukupan, orang tuanya termasuk salah satu orang terpandang di kota Bandung saat itu. Poppy memiliki wajah yang menurutku sangat imut-imut, dengan potongan body yang relatif kecil (163 cm, 45 kg), kulit putih bagai kapas tanpa cacat sedikitpun. Ditambah dengan penampilannya yang cuek tapi rapih, tentu saja dia membuatku semakin jatuh cinta. Satu hal yang membuatku tergila-gila padanya adalah matanya yang bulat dihiasi dengan hidung kecil mancung dan bibir kecilnya yang berwarna merah muda tanpa lipstik dan selalu basah itu.

Aku dan dia berpacaran sudah cukup lama, selama berpacaran aku sangat menghargai dia, pertama karena aku sangat mencintai dia, selain itu aku pun melihat keberadaan keluarganya. Waktu berjalan tidak terasa 1 tahun lebih aku berpacaran dengannya tanpa ada masalah, bahkan aku dan keluarganya (ayah, ibu dan kakak-kakaknya) sudah benar-benar diterima seperti layaknya anak sendiri, hal ini membuatku semakin yakin akan gadis pilihanku ini. Dalam waktu yang sekian lama kegiatan pacaran kami hanya berkisar antara nonton di bioskop ataupun makan-makan di restoran, selama itu aku belum pernah mencium bibir merahnya, ataupun memeluknya walaupun pada dasarnya aku memiliki hasrat untuk melakukan hal itu, namun hasrat tersebut kalah oleh rasa cinta dan sayangku padanya, sehingga aku tidak ingin sedikitpun melukai hatinya. Paling-paling cium kening sebelum pulang apel yang selalu kulakukan padanya selama kurun waktu tersebut sebagai penghias cinta kami berdua.

Singkat cerita, pada saat aku duduk di kelas 1 SMA, dimana Poppy yang adik kelasku itu duduk di kelas 3 SMP akan menghadapi EBTANAS untuk masuk ke SMA, Aku yang sudah benar-benar dipercaya oleh keluarganya, mendapatkan perintah dari kedua orangtuanya untuk memberikan bimbingan kepada Poppy selama masa EBTANAS tersebut. Aku yang jelas-jelas sangat menyayanginya sudah barang tentu tidak akan mengecewakan dirinya apalagi kedua orang tuanya. Karena aku sudah mendapatkan mandat untuk memberikan bimbingan selama masa EBTANAS itu, maka aku pun dianjurkan untuk menginap di rumahnya selama kurang lebih 2 malam. Pada mulanya aku ragu untuk menginap di rumahnya, karena memang aku belum pernah menginap di rumah teman cewek, apalagi di rumah cewekku sendiri seperti ini. Namun berkat dorongan kedua orangtua serta kakak-kakaknya yang terus memaksa, akhirnya aku pun memberanikan diri untuk menginap selama 2 malam di rumah kekasihku.

Malam Senin (malam pertama aku menginap). Aku datang ke rumahnya (kira-kira pkl 18.30 WIB)menggunakan sepeda motorku, sesampainya di rumahnya, aku memencet bel, tak lama kemudian Poppy muncul dengan berlari-lari kecil, “Eh, Kaka, kok jam segini baru dateng sih, Poppy sudah nungguin dari tadi tau, katanya mau dari siang”, ujar Poppy sambil membukakan pintu garasi rumahnya. (Oh iya aku lupa menjelaskan pada pembaca bahwa selama berpacaran Poppy selalu memanggilku dengan panggilan “Kaka”). Aku pun menuntun sepeda motorku masuk dalam garasi rumahnya.

“Ayo, Kak, buruan masuk, itu tasnya taruh saja di kamarnya Mas Dody”, ujar Poppy sambil menarik lenganku menuju kamar kakaknya (Mas Dody) yang kebetulan sedang pergi ke Pangandaran bersama teman-temannya. “N’tar dulu dong Pop, aku kan belon ketemu Ibu dan Bapak, masa sih langsung main masuk kamar saja, entar disangka nggak sopan lagi”, ujarku.
“Oh, iya lupa”, ujar Poppy sambil tersenyum kecil dan mencubit lenganku, yang membuatku semakin gemes kepingin mencium bibir mungilnya itu. Tak sadar aku pun terbengong-bengong melihat wajah imutnya sambil pikiranku membayangkan aku sedang mencium bibir sambil berpelukan dengannya. “Eh, kok malah bengong bukannya masuk, hayo lagi mikirin siapa yaa?” ujar Poppy. Aku pun tersentak kaget dan tersadar dari lamunanku. “Eh, nggak kok, ujarku sambil buru-buru membuang pikiran kotorku, takut ketahuan lagi mikirin yang jorok-jorok.

Tak lama kemudian muncul Ibunya, “Eh, Nak Eot, kapan dateng kok nggak kedengeran”, ujar ibunya sambil mempersilakan aku masuk ke dalam ruang keluarganya. “Sudah, dari tadi bu”, sahutku pelan sambil berjalan menuju ke dalam. “Nanti, Nak Eot tidur saja di kamarnya Dody, kebetulan Dody sedang keluar kota jadi kamarnya kosong”, ujar ibunya.
“Iya Bu”, sahutku.
“Poppy, ayo ajak masnya makan malem dulu, sebelum belajar!” ujar ibunya sambil mengajak kami ke ruang makan untuk makan malam. “Kak, ayo makan dulu, nanti masuk angin lho”, ajak Poppy sambil menuntun tanganku menuju ruang makan. Kami pun makan malam bersama bertiga. Ternyata ayahnya sedang dinas keluar kota sedangkan kakak-kakaknya pergi semua keluar dengan alasan malas untuk mengajarkan adiknya yang sedang menghadapi EBTANAS ini. “Untung ada Nak Eot, kalau nggak bisa gawat nih, mana kakak-kakaknya Poppy pada ngabur lagi, wah maaf ya Nak Eot, jadi merepotkan nih”, ujar ibunya. “Oh, nggak apa-apa kok Bu, kan kalau Poppy NEM-nya bagus, saya juga yang senang Bu”, balasku sambil melirik ke arah Poppy yang tersenyum-senyum manja. Setelah makan malam, aku dan Poppy ditinggal oleh ibunya, masuk ke dalam kamar.

Aku pun mulai mengajari Poppy di ruangan komputer, malam itu Poppy menggunakan baju kaos tipis berwarna putih, dipadu dengan rok mini corak kotak-kotak merah-hitam sehingga tampak kontras sekali di kulit pahanya yang putih bersih. Selama mengajarinya mataku kadang terpaku kepada pahanya yang putih mulus, ingin rasanya aku mengelusnya, merasakan kehangatan pahanya, namun apakah hal itu mungkin, sedangkan selama ini aku belum pernah melakukan hal tersebut. Tak terasa aku menjadi terangsang, dan kemaluanku pun menjadi tegang, namun sebelum menjadi semakin parah segera kubuang pikiran itu jauh-jauh.

Soal demi soal dikerjakan, waktu pun tidak terasa sudah menunjukkan pukul 22.30 (setengah sebelas malam).
“Kak, sudah dulu ah, istirahat dulu sebentar, Poppy kan capek”, ujar Poppy sambil menggelendot manja.
“Eh, Poppy masak sih baru sebentar saja sudah capek, nanti NEM-nya jelek lho”, sahutku.
“Ya, tapi kan kalau sudah capek dipaksain terus belajar juga malah nggak bagus”, jawab Poppy.
“Dasar kamu pinter ngomong, ya sudah kalau gitu kukasih kamu 1 soal lagi, nanti kalau bisa ngerjain dan jawabannya benar, kamu aku kasih hadiah dan boleh istirahat”, ujarku lagi.
“Asyiiikkk…, benar ya, tapi hadiahnya apa?” tanya Poppy padaku.
“Ya, sudah sekarang kerjain saja dulu nanti hadiahnya surprise”, jawabku. Poppy pun mengerjakan soal, sementara aku bingung memikirkan hadiah apa yang bakal diberikan padanya sedangkan tadinya aku hanya iseng saja, dan benar-benar tidak memiliki sesuatu yang akan diberikan padanya. Akhirnya tidak lama kemudian Poppy pun menyelesaikan soal, kuperiksa dan ternyata jawabannya tidak ada yang salah.
“Gimana Pak Guru, apa jawabannya benar”, tanya Poppy,
“Aku pun menganggukkan kepalaku sambil tersenyum padanya.
“Nah, sekarang mana janjinya, katanya mau ngasih hadiah”, tanya Poppy.
“Oh iya ya, naah sekarang pejamkan dulu mata kamu baru nanti saya kasih hadiahnya”, ujarku pelan. Poppy pun menurut memejamkan kedua belah matanya.
“Sudah belum”, ujar Poppy mendesakku.
“Sebentar, dulu dong”, jawabku. Aku pun memandangi wajah imutnya, bibir mungilnya, hidung mancungnya, semua terasa sangat indah malam itu, aku pun memang sudah berniat untuk memberanikan diri akan memberikan sesuatu yang belum pernah kuberikan padanya malam ini. Aku pun mendekatkan wajahku padanya, pelan-pelan kudekati bibir mungilnya, dengan perasaan dag-dig-dug tak menentu akhirnya kuberanikan diriku dan kedua bibir kami pun bersentuhan, bibirnya terasa sangat lembut dan hangat. Aku takut dia akan marah atau menganggapku kurang ajar. Sesaat kemudian dia membuka kedua matanya, kupandang wajahnya takut-takut, tak lama kemudian ia pun tersenyum padaku, “Ma kasih ya Kak”, ujarnya sambil tersenyum manja, manis sekali. Ingin rasanya aku berteriak karena girang, ternyata bisa juga aku merasakan bibirnya walaupun hanya sekejap, batinku dalam hati. “Sudah, ya hanya segitu saja hadiahnya Kak”, ujar Poppy lagi. “Ya, kalau pengen hadiah lagi juga nggak apa-apa”, harapku ragu-ragu.

Tak disangka Poppy pun memelukku sambil mencium bibirku, akhirnya kami pun saling berciuman sambil berpelukkan, nafsuku semakin tinggi setelah kedua buah dadanya menyentuh dadaku, terasa kenyal dan hangat, ingin rasanya aku memegangnya. Kami terus berciuman, sementara tanganku sudah mulai berani mengelus-elus punggung, kemudian pelan-pelan turun ke arah pantat, gila benar… pantatnya empuk benar, sudah gitu hangat lagi, tapi aku tidak berani berlama-lama di area tersebut, aku pun kembali memindahkan tanganku di punggungnya, kembali mengelus-elus punggungnya sambil lidah kami berdua saling berpagutan di dalam, benar-benar malam spesial yang sangat indah, batinku dalam hati.
“Pop, apa Ibu sudah tidur, n’tar ketauan lagi”, kataku sambil melirik ke arah kamar sang Ibu, “Nggak apa-apa kok, kalau Ibu biasanya jam sepuluh sudah tidur”, jawab Poppy menenangkanku. Jawaban Poppy benar-benar membuatku tenang, tapi juga membuat birahiku semakin memuncak, akhirnya kami pun kembali berciuman, aku pun memberanikan diri untuk memegang buah dadanya, mula-mula kuelus dari belakang, kemudian menjalar dari samping, terasa kenyal, ternyata bagian bawah buah dadanya sudah terpegang olehku, dia diam saja, sementara aku semakin lupa diri, dan akhirnya kuberanikan diri untuk memegang buah dadanya dari depan, ternyata dia diam saja bahkan kudengar nafasnya semakin tidak beraturan, rupanya dia terangsang juga, pikirku dalam hati. “Pop, boleh nggak tangan kakak masuk ke dalam?” tanyaku takut-takut, Poppy pun mengangguk pelan malu-malu, akhirnya kumasukkan tanganku dari bawah baju kaosnya, pertama tersentuh kulit perutnya yang halus dan hangat, membuat pikiranku melayang kemana-mana, semakin ke atas akhirnya ketemu juga gunung kembar yang selama ini hanya bisa kubayangkan tanpa bisa kupegang.

Buah dada Poppy masih sangat kencang dan bulat, kuelus buah dadanya dari luar bra yang digunakannya, baru kemudian kuberanikan untuk menyusupkan jemariku ke dalam bra, halus dan hangat terasa jemari tanganku menyentuhnya, Poppy pun melenguh, nafasnya semakin tak beraturan ketika tanganku menyentuh buah dadanya bagian dalam. Bra yang kurasakan sangat mengganggu tersebut akhirnya dengan jerih payah berhasil kubuka, (karena kebetulan kancing pengaitnya ada di depan, jadi mudah untuk menemukannya). Setelah terbuka, tanganku menjadi semakin leluasa menggerayangi kedua buah dada Poppy. Kuelus-elus buah dada Poppy memutar keliling bagian luarnya, baru kemudian kutemukan pentil susunya yang masih sangat kecil mungil, dan kubayangkan pasti warnanya merah muda. Kupelintir-pelintir pentil susunya, membuat Poppy semakin menggelinjang “aahh, kakk, Poppy… gelii… banget nih”, ujar Poppy, aku tak bisa menjawab, karena nafsu birahiku semakin memuncak, aku hanya dapat tersenyum sambil mengecup keningnya. Tanganku pun semakin berani bergerilya, sementara tangan kananku sibuk menggerayangi buah dada, maka tangan kiriku mulai berani untuk mengelus-elus paha putihnya, busyeet! teman-teman, pahanya halus banget, kuelus dari lutut, kemudian naik sedikit sampai kira-kira 20 cm dari lutut, kemudian turun lagi, ingin rasanya elusan tanganku ini kuteruskan ke atas, namun keberanian diriku belum penuh.

Bibir kami terus berpagutan, sambil terus berpelukan. Nafsu birahiku semakin bergejolak, ingin rasanya aku membuka kaos putihnya, sehingga aku dapat melihat sekaligus menciumi buah dadanya, namun kutakut kalau Poppy nantinya malah tersinggung mengingat hal ini baru pertama kali kami lakukan.
“Sudah diijinkan memegang sampai ke dalam saja sudah untung”, batinku dalam hati.
Aku sadar bahwa segala sesuatu itu harus melalui proses, demikian juga dengan “hal ini” walaupun permasalahannya berkisar hubungan antara 2 insan manusia yang berlainan jenis, namun kuyakin apabila dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu, maka hasilnya pun akan lebih memuaskan. Kuurungkan niatku, walaupun kemaluanku sudah semakin menegang, menuntut sesuatu yang lebih dari sekedar berciuman dan berpelukan, walaupun sudah dihiasi dengan elusan-elusan ringan ke arah 2 bukit kembarnya.

Sedang asyik-asyiknya kami berciuman, tiba-tiba kudengar suara derit pintu yang terbuka, aku dan Poppy tersentak kaget, Poppy pun membenahi rambutnya yang sedikit acak-acakan sekaligus memasang kait tali BH-nya yang sempat kubuka tadi.
“Siapa Pop?” bisikku padanya. Poppy menggelengkan kepalanya, “Mungkin Ibu”, balasnya setengah berbisik. Kami pun langsung bergegas untuk kembali pada posisi semula. Aku mengambil buku sambil berusaha untuk mengatur jalan nafasku yang masih ngos-ngosan tak karuan.
“Waahh, sialan, lagi nikmat-enaknya, adaa saja gangguan”, batinku dalam hati.

Ternyata dugaan Poppy benar, Ibu keluar dari kamar, terbangun karena haus sekalian menengok anaknya yang sedang belajar.
“Waahh… rajinnya anakku, jam segini masih belajar juga”, ujar Ibu sambil membelai rambut Poppy.
“Gimana Nak Eot, apa Poppy sudah siap untuk ujian besok?” tanya Ibu padaku.
“Lumayan Bu, soal-soal yang kuberikan tadi hampir semuanya terjawab benar”, jawabku sambil melirik ke arah Poppy.
“Ya sudah, dilanjutkan belajarnya, Ibu mau bikin susu dulu buat kalian, biar nggak masuk angin”, sahut Ibu lagi.
“Nggak usah Bu, jadi ngerepotin saja nih”, kataku berbasa-basi.

Tidak lama kemudian Ibu kembali membawa 2 gelas susu coklat panas plus roti buat kita berdua.
“Makasih ya Bu”, ujarku pada Ibu, Ibu tersenyum kecil sambil mempersilakan kami untuk meminum susu buatannya.
“Poppy, kalau sudah beres lekas tidur, biar besok nggak kesiangan bangun, Ibu sudah ngantuk, mau tidur duluan.”

Kami pun kembali ditinggal berdua di ruang tersebut. “Wah, hampiiirrr saja ketauan, untung pintunya kedengeran”, ujar Poppy sambil mengelus dada.
“Ya… yaa… yaa, kalau nggak bisa gawat nih, disuruh belajar PMP kok malah belajar ciuman”, sahutku sambil tertawa lega ibarat maling lolos yang lolos dari sergapan Satpam.
“Uu… uuuhh… dasar guru ngeres, bukannya ngasih ilmu buat besok kok malah ‘nyonyo’ susu batur” (mainin payudara orang—-> dalam bahasa Sunda)”, kata Poppy sambil mencibirkan bibirnya.
“Tapi… suka kan!” kataku sambil memeluk Poppy dari belakang.
“Naahh, sekarang mau lanjutin belajar PMP atau lanjutin belajar dokter-dokteran?” tanyaku pada Poppy.

Poppy tidak menjawab, ia melepaskan pelukanku dan berpindah untuk berbaring di sofa panjang yang kebetulan terdapat di pojok ruangan. Aku pun berjalan menghampirinya.
“Sakit apa Mbak?” tanyaku sambil pura-pura memegang keningnya bak seorang dokter yang menanyai pasiennya.
“Ini Dok, saya dari tadi sesak nafas, kalau nafas berat banget kayak ada sesuatu yang ngeganjel di mulut”, jawab Poppy sambil tersenyum manja ke arahku.
“O… ok, kalau begitu coba Mbak buka mulutnya”, sahutku lagi. Poppy pun kemudian membuka mulutnya, laganya seorang dokter, aku pun pura-pura mensenter mulutnya bagian dalam, terlihat barisan gigi putih rapih menghiasi bagian dalam bibir mungilnya. Melihat posisi Poppy yang berbaring pasrah di sofa, timbul lagi hasratku untuk kembali melanjutkan permainan kami yang sempat terpotong tadi.

“Waduuuhh… ini sih harus diberi nafas bantuan”, kataku lagi. Aku pun kembali mendekatkan bibirku pada bibirnya, kita pun segera berciuman kembali dengan gemasnya, lidahku dan lidahnya saling berkaitan, kadangkala lidahku digigitnya lembut, mungkin saking gemasnya. Tanganku pun tidak mau tinggal diam, segera ikut bergerilya di sekitar permukaan buah dadanya. Walaupun masih tertutup baju dan BH, namun aku dapat merasakan bahwa puting susu Poppy sudah mulai mengeras pertanda bahwa ia mulai terangsang, hal itu juga tampak dari jalan nafasnya yang sangat tidak beraturan. Kemaluanku sudah sangat menegang, nafsu birahiku kian memuncak, keringat mengucur deras, otakku sudah benar-benar dipenuhi oleh pikiran ngeres meminta sesuatu yang lebih. Aku pun berfikir keras agar dapat melihat buah dadanya, memegang dan mengelusnya langsung tanpa ada baju dan BH yang menghalangi.

Sesaat kuhentikan ciumanku di bibirnya. Kupandangi wajah imutnya sambil bertanya, “Gimana Mbak, apa sudah baikan sesak nafasnya?”
“Belum Dok, malahan sekarang tambah parah, gimana dong dok?”
Aku pun pura-pura berfikir sambil mengerutkan dahiku.
“Ooo… Gitu”, kataku sambil mengangguk-anggukan kepalaku.
Aku mengambil sendok yang kebetulan ada di atas meja.
“Buat apa itu Dok?” tanya Poppy.
“Yaa.. buat periksa dong”, sahutku.
“Naahh… sekarang aku mau periksa detak jantung Mbak, tolong bajunya agak dikeataskan”, pintaku padanya takut-takut.
“Baik Pak Dokter”, jawab Poppy sambil mulai mengangkat kaos putihnya setengah badan. Tampaklah perut putihnya dan sebagian buah dada bagian bawah yang masih terbungkus BH warna putih gading. Aku kaget setengah gembira melihat pemandangan tersebut, aku tidak menyangka kalau ternyata malam ini, malam EBTANAS aku dapat memegang sekaligus melihat buah dada Poppy, pacarku tercinta.

“Maaf ya Mbak”, sahutku sambil pura-pura memulai memeriksa pasiennya. Pertama-tama dengan menggunakan punggung sendok yang cembung, aku menekan lembut perut Poppy kemudian kugeser sedikit demi sedikit naik ke arah buah dada Poppy.
“Waahh… maaf nih Mbak, sepertinya BH-nya harus dikendorkan habis menghalangi jalannya pemeriksaan”, sahutku ragu-ragu. Tak disangka Poppy pun melepas tali BH-nya (kaitannya ada di depan sehingga sangat mudah untuk membukanya). Dadaku bergemuruh keras, bagai akan meledak melihat pemandangan yang demikian menakjubkan, dimana di depan mataku sepasang buah dada indah, putih nan cantik belum pernah terjamah sedikitpun menantang, menanti belaian tangan-tangan kasarku. Untuk pertama kalinya kumelihat langsung buah dada wanita seumur hidupku, buah dada yang berdiri tegak, bulat dihiasi dengan puting kecilnya yang menonjol berwarna coklat kemerahan. Untuk beberapa saat lamanya aku duduk tertegun, tak bergerak, diam membisu, pandanganku sedetikpun tidak terlepas dari 2 buah dada indah itu. Seluruh tubuhku seakan lemas tak bertenaga, otakku berputar cepat, bingung memikirkan tindakan apa yang akan kulakukan selanjutnya.

“Kaak… kak, kok bengong sih”, tanya Poppy menyadarkan aku dari lamunanku.
“Buah dada kamu bagus sekali”, ujarku refleks. Poppy pun tersenyum malu sambil menutupi buah dadanya dengan kedua belah tangannya. Kusibakkan dua tangannya dari gumpalan daging indah itu, dengan lembut kuelus buah dada itu dari bawah kemudian berputar ke atas mengelilingi puting susunya yang semakin menonjol itu. Poppy menggelinjang kegelian, tampak seluruh badannya bergoyang menahan rasa geli dan nikmat yang tak terkirakan itu. Mungkin baru sekarang ini buah dadanya dipermainkan oleh seorang cowok. Nafasnya seakan-akan berhenti, terutama ketika jemariku perlahan mengelus dan memutar mempermainkan puting susunya.
“Kaak…., Poppy geliii… banget”, ujar Poppy sambil mendekap tanganku ke arah buah dadanya.

Kukecup keningnya untuk menenangkan hatinya, kucium bibir mungilnya, kemudian kuciumi leher indahnya, kutelusuri, kujilati lehernya sampai bersih. Ciumanku perlahan beranjak turun ke bawah, kucium buah dadanya satu persatu, baru kemudian kutelusuri buah dada indah itu dari atas memutar ke bawah, hingga akhirnya sampai ke puting susunya yang sudah sangat keras itu. Kujilat puting susunya perlahan, baru kemudian kuhisap-hisap bagai anak kecil menyusu ke ibunya. Poppy memejamkan kedua matanya, seluruh badan Poppy tampak mengejang terutama ketika lidahku mengenai puting susunya.

Nafsuku sudah tak tertahankan lagi, ingin rasanya aku menelanjanginya, dan kemudian menidurinya, “Tapi itu mustahil”, batinku dalam hati. Sementara mulutku bermain di buah dadanya, tanganku tak mau kalah, mulai meraba-raba paha putih Poppy dari bawah bergerak perlahan ke atas, kusingkap rok mini yang dipakainya sedikit ke atas, paha indah itu semakin tampak jelas dihiasi bulu-bulu halus, tanganku terus bergerak ke atas hampir sampai ke pangkal pahanya, terasa semakin hangat dan halus. Tiba-tiba tangan Poppy memegang tanganku yang tinggal beberapa centimeter saja mengenai kemaluannya.

“Ka…. ka…, nanti saja ya”, ujar Poppy.
“Disini nggak aman”, ujar Poppy lagi.
Aku pun menurunkan tanganku. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 01.30 malam. Di sini aku dihadapkan pada 2 pilihan, di satu sisi aku merasa bahwa kesempatan ini tidak boleh disia-siakan, namun di sisi lain aku merasa kasihan pada Poppy yang besok pagi harus mengikuti ujian EBTANAS. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri permainan ini. “Toh besok aku masih menginap di rumah ini, sudah barang tentu kesempatan pun akan lebih banyak”, pikirku dalam hati. Akhirnya Poppy pun kusuruh untuk beristirahat, aku pun beranjak ke kamar Mas Doddy, namun sampai subuh aku tak dapat tidur, pikiranku terus melayang pada kejadian yang baru saja terjadi antara kami berdua, “Besok aku harus mendapatkan yang lebih”, batinku dalam hati.

Ita, sahabat kantorku

Ita, sahabat kantorku

Cerita ini dimulai ketika aku bersama 2 orang teman sekantorku mendapat training ke Singapura untuk mempelajari produk software baru. Kami bekerja di Bank Swasta terkenal di bagian Information Technology.

Aku, Edwin dan Ita menginap di Hotel Orchard di Orchard Road, Aku dan Edwin satu kamar sharing di Lantai 10. Sedangkan Ita di Lantai 6. Setibanya di Hotel kami beristirahat sejenak, kemudian kami bertiga melakukan survey tempat lokasi training untuk hari senin esoknya. Ternyata tempat training kami tidak terlalu jauh dari tempat kami menginap, dari Hotel kami jalan ke station MRT Orchard dan berhenti di station MRT Bugis…, kemudian dapat melanjutkan dengan berjalan kaki.

Selesai meninjau tempat training kami kembali ke Orchard, di tengah perjalanan Ita bertanya kepadaku.
Ita: “Ricky kamu tahu gak…, tempat jual kondom yang aneh-aneh di Singapore”.
Aku: “Oh tahu gue…, itu dekat Lucky Plaza…, lu mau ke sana?”
Ita: “Iya donk ke sana yuk kita lihat-lihat”, Kata Ita antusias sekali.
Edwin: “Ngapain ke sana…, jauh-jauh di Jakarta juga banyak.”
Ita: “Yang disini lain…, banyak yang aneh-aneh”.
Aku: “Iya…, deh Win…, kita lihat saja kesana…, lagian lu ngapain bengong di hotel”.

Akhirnya kami bertiga ke condo di Lucky Plaza. Ita membeli kondom yang bisa menyala kalau malam. Sedangkan Edwin acuh tak acuh…, karena dia memang type aliran lurus tidak suka yang aneh-aneh, sedangkan Ita aku perhatikan, sepertinya sangat senang melihat barang-barang di sana. Matanya tampak mengawasi boneka berbentuk alat kelamin pria, dia sepertinya ingin beli, tapi malu sama Edwin.

Setelah itu kami bertiga menelusuri mall-mall sepanjang Orchard Road, Isetan, Takasimaya dll. Tak terasa kami bertiga sudah mengelilingi pertokoan hampir 3 jam, dan hari sudah sore.
Ita: “Aduh kaki gue, pegal banget deh…, ngaso dulu yuk”.
Kami bertiga berhenti dulu sambil duduk dan merokok di taman. Wah, pemandangan di Orchard asyik-asyik. cewek di sana memakai bajunya berani…, paha dan tonjolan buah dada rasanya sudah hal biasa di sana.

Sedang asyik-asyiknya melihat tonjolan ‘kismis’ di baju cewek yang lewat, mendadak Edwin mengajak pulang, “Yuk Rick kita balik ke Hotel”.
Ita tersenyum mengejekku, “Elu ganggu si Ricky aje…, Win…, orang lagi nikmat-nikmat ngeliat pemandangan”.
Waduh ketahuan saya lagi ngeker oleh Ita.., ternyata dia memperhatikanku dari tadi.
Edwin: “Habis gue bosan…, dari tadi cuma duduk-duduk doang…, mendingan balik ke Hotel…, bisa tidur bisa ngaso”.
Ita: “Sebentar lagi deh Win…, gue kagak kuat jalan…, kalau dipijitan nikmat kali yach?”.
Aku: “Boleh entar gue pijitin deh, tapi bayarnya berapa?”.
Ita: “Sambil tersenyum menggoda…, tapi pijitinnya nikmat kagak?”.
Aku: “Dijamin merem-melek deh…, saking asyiknya”.
Ita: “Huh…, Gombal”.
Aku: “Tidak percaya boleh coba”.

Ketika Jam sudah menunjukkan pukul 19:30 perutku terasa lapar sekali, aku ajak Edwin keluar untuk mencari makan di luar. Dia menolak alasannya capek. Lebih baik pesan di restauran hotel aja aku bel Ita, dia mau tapi kakinya pegal-pegal. Aku rayu dan kubilangi nanti dipijitin deh.
Ita: “Benar yach…, awas kalau bohong”.

Kami bertemu di Lobby, Ita memakai baju kaos yang lehernya rendah sekali sehingga tampak buah dadanya yang putih dan kenyal. Di tengah perjalanan aku coba menggandeng tangan Ita waktu menyeberang jalan, dia tidak menolak. Permulaan yang baik kataku dalam hati. Sewaktu perjalanan pulang ke hotel Ita menempelkan tubuhnya ke badanku, sambil berkata: “Rick…, gue sudah kagak kuat jalan nich.
Aku: “Mau gue gendong”.
Ita mencubit perutku, “Dasar laki-laki cari kesempatan aje”, sewot Ita
Aku: “Bukan cari kesempatan, tapi gue mau tolongin kamu”.

Akhirnya kami berdua jalan sambil berpelukan. Tangan Ita memeluk pinggangku dan tanganku memeluk pinggang Ita
Wangi parfum dari tubuh Ita membangkitkan naluri kelaki-lakianku. Tanpa kusadari penisku mulai bereaksi bangkit berdiri. Tanganku mulai jahil dan turun perlahan-lahan ke pantat Ita, yang padat dan bulat. Aku lihat respon Ita apakah dia marah?, ternyata diam saja. Wah, sepertinya dia mau juga pikirku sehingga aku makin berani saja.

Saat kami berdua di lift, tanganku merayap lagi dan menelusuri pantat Ita dan mengikuti alur celana dalamnya. Dia diam saja. Aku makin berani saja dan kucoba bergerak ke pangkal pahanya. Tiba-tiba dia bereaksi mencegah perjalananku menuju sasaran sambil berkata, “Eit…, Jangan nakal yach”, tapi tanpa ada ekpresi marah dari wajahnya. Akhirnya Ita berhenti di lantai 6, kembali ke kamarnya sedangkan aku ke Lantai 10

Setiba di kamar kulihat Edwin sedang tiduran sambil membaca buku. Aku menonton TV sambil berbaring dan melamun bagaimana caranya untuk mendekati Ita. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 22:00, kulihat Edwin mulai mengantuk. Aku mencoba tidur tapi tidak bisa karena pikiranku sudah dipenuhi fantasi-fantasi aroma parfum Ita, yah bukit kembarnya yang bulat terawat walupun dia sudah mempunyai anak 3 orang. Juga pantatnya yang wow kalau dipegang sepertinya bisa mem-ball. Wow, pokoknya nikmat di coba.

Dari pada pusing-pusing akhirnya aku keluar kamar mau merokok, karena Edwin tidak merokok. Sehingga tidak enak kalau aku merokok di kamar. Sambil menghisap asap rokok aku memutar akal bagaimana caranya agar bisa kencan dengan Ita yang jinak-jinak merpati, sepertinya nurut, tapi bikin panasaran. Akhirnya aku mendapatkan ide.

Aku naik ke lantai 6 dan aku tekan bel kamar 606…, ting-tung-ting-tung tidak lama kemudian pintu dibuka setengah dan Ita melongok dari dalam. Waduh…, Ita sudah memakai baju daster yang tipis, dimana di bawah cahaya lampu tampak lekuk tubuhnya yang aduhai seolah-olah hanya mengenakan BH dan celana dalam saja, makin membuat dadaku sesak napasnya.
Ita: “Ada apa Rick?”.
Aku: “Gue sakit perut nich…, lu ada obat gak?”.
Ita: “Elu sich makannya rakus”, kemudian dia mempersilakan aku masuk

Sewaktu dia hendak mengambil obat dia membelakangiku. Tampak punggungnya yang putih mulus, ingin rasanya aku mencium punngung tsb.
“Nich Rick minum ini”, dia memberi obat Pao Chee Pill…, aku sebenarnya tidak sakit perut, tapi demi misi dan tujuan aku tenggak saja obat tsb.

Ita: “Elu belon tidur Rick?”
Aku: “Belum Ta…, susah nich tidurnya”.
Ita: “Edwin sudah tidur?”
Aku: “Udeh kali…, dia tadi gue lagi keluar aje…, sudah mau molor.
Ita: “Gue juga kagak bisa tidur…, kaki sama badan pegal semua…, kaya habis kerja bakti.
Ita kayanya mancing soal pijit-memijit lagi.
Aku: “Udeh sini gue pijitin…, bayarnya makan siang besok aje.., oke setuju?
Ita: “Jangan ah nanti ketahuan Edwin.
Aku: “Edwin kan di kamarnya…, lagian…, kita memang ngapain? orang pijitin doang.
Ita tersenyum malu…
Ita: “Ya deh boleh juga, tapi yang nikmat yach…, sambil tengkurap di ranjang.
Aku: “Pokoknya sip deh…, tapi ada body lotion gak?”
Ita: “Ada tuh di meja”.

Aku mulai memijat Ita dari jari kaki ke betis dan Ita tampaknya menghayati pijatanku sampai di pantat Ita.
Aku: “Ta, buka bajunya nanti kotor.., kena lotion.
Ita: “Gak usah deh Rick.., cukup kaki saja”.
Aku: “Kalau dipijit tuh tidak boleh tanggung-tanggung nanti malah kagak nikmat”.
Ita menuruti juga permintaanku. Aku memijat dari betis ke pantat, kadang-kadang jari-jariku nakal menyentuh lembah bukit rayanya yang masih dibalut oleh celana dalamnya. Dia tampak kegelian dengan terlihat pantatnya yang menggerinjal dan keras.

Kemudian tanganku menjelajahi punggungnya yang halus seperti sutra, sesampainya di tali BH-nya dengan cepat tanganku melucuti kancing BH-nya. Ita mendadak hendak bangun dan berucap, “Jangan Rick..!
Aku tahan punggung Ita, ” Jangan takut Ta gue kagak ngapa-ngapain…, lu bisa teriak kalau gue macem-macem dan gue bisa dihukum mati di sini, percaya deh sama gue”. Ita akhirnya menurut juga. Tampak di mataku sosok tubuh yang indah serta leher yng jenjang. Ingin rasanya kedua tanganku menyusup ke bawah punggung dan memegang kedua gunung kembar yang mancung lembut dan kenyal. Tanpa terasa ular nagaku mengeras kencang sekali, sekan-akan hendak berontak dari celanaku.

Pijatanku beralih lagi ke jari kaki dan terus menggelosor menuju punggung. Tapi terhalang oleh celana dalam.
Perlahan-lahan kugigit celana dalam yang berwarna cream tsb dengan gigiku dan kutarik ke bawah
“Jangan Rick…, jangan…”.
Ita mencoba menahan laju celana dalamnya, tetapi yang tersentuh tangannya adalah rambutku.
“Rick jangan dong…, ah…”.
Aku: “Tenang Ta tidak apa-apa nanti pijitinnya bisa meluncur dari atas ke bawah,kalau kagak celanamu kotor tuh…”, rayuku. Ita tampaknya juga sudah mulai terangsang dengan pijatan-pijatanku, akhirnya dia pasrah.

Kutarik CD-nya dengan gigiku sampai ke bawah dan tercium olehku aroma lembah bukit raya Ita…, dan kulihat CD Ita ada bercak pulau, rupanya Ita sudah sangat terangsang. Tampak olehku semak belukar Ita yang tertata rapi bagai rumput peking dan belahan goanya yang berwarna merah muda dan lembab oleh cairan. Otakku sudah tidak terkontrol lagi. Kusergap Goa Ita dengan kedua bibirku…, terasa di pipiku sentuhan semak belukar Ita yang halus dan aroma vaginanya yang menyengat.

Ita: “Rick jangan…, jangan…, jangan…”, sambil tangannya memegang rambut di kepalaku. Aku tidak peduli, kumasuki liang surgawinya dengan ujung lidahku. Terasa cairan aneh di ujung lidahku dan aroma yang menyengat. Tubuh Ita menggigil hebat dan pantatnya menegang karena menahan geli yang tidak tertahankan. Tangannya yang tadinya mencoba menahan laju serangan mulutku sekarang berbalik menekan kepalaku agar terbenam ke dalam vaginanya. Aku makin bersemangat memainkan ujung lidahku menyapu dinding vagina Ita dan kadang-kadang kugigit perlahan gumpalan 2 butir daging di vagina Ita.
Ita hanya bisa berseru lirih, “Rickk…, jangan…, jangan…, Rickk…, ohh jangan”.

Tapi gerakan tangan dia dengan apa yang dikeluarkan dari mulutnya sangat berlawanan. Karena sudah tidak kuat menahan serangan lidahku yang bertubi-tubi. Akhirnya Ita membalikkan tubuhnya sehingga sekarang dia dalam posisi telentang dimana tadinya dalam posisi tengkurap dan kedua kakinya melingkar di leherku sambil kedua tangannya menjambak rambutku dan menekan keras kepalaku ke arah daerah terlarangnya yang sudah basah sekali. Dia menekan kepalaku dan menaik-turunkan pinggulnya ke wajahku seakan-akan wajahku hendak dibenamkan ke vaginanya.
“Rick…, ss ohh Riick.., Ohss…, Ricckk!

Tiba-tiba terasa olehku cairan hangat mebanjiri vaginanya sampai mukaku ikut lengket terkena cairan tsb, rupanya Ita sudah mencapai klimaksnya. Tubuhnya mendadak kaku dan kepalaku ditekan keras sekali ke arah vaginanya sampai-sampai aku tidak bisa bernapas. Setelah itu pegangan Ita mengendor sehingga aku bisa mengangkat kepalaku dari jepitan kedua belah pahanya yang sintal dan kenyal. Momentum tsb tidak kusia-siakan aku cepat-cepat melepas bajuku dan celanaku. Sekarang aku telanjang dengan penis yang menantang ke arah Ita. Aku naik ke ranjang dan kudekatkan penisku yang besar dan kekar ke arah wajah Ita. Ita tampak tersenyum puas masih dalam posisi telentang. Dengan sigap digenggamnya batang penisku ke dalam genggaman tangannya yang halus dan di kulumnya kedua biji penisku ke dalam mulutnya, “Slop…, slop.., slop…”, terdengar bunyi air liur dari mulut Ita. Tubuhku menggigil dengan hebatnya dan tampak kepala penisku semakin membesar dan mengkilap.

Kemudian lidah Ita menyapu perlahan-lahan dari kedua buah salak sampai kepala penisku. Lalu mengulum kepala penisku yang besar dan mengkilap ke dalam mulutnya sampai mulutnya seperti penuh sesak oleh kepala penisku. Dia memaju-mundurkan mulutnya diikuti oleh gerakan pinggulku maju-mundur ke arah muka Ita, “Slop…, slop…, slop…, ckk…, ahh Taa…, Ahh Taa…, Taa…, aa…, Oouhh”.

Tiba-tiba terasa olehku kegelian yang sangat-sangat luar biasa, dimana terasa kepala penisku seolah-olah membengkak dan bersamaan dengan itu keluarlah lahar yang panas dari lubang kepala penisku, “Cret…, crett, cerst, ccrest…, crestt…, cretss”, tidak terhitung olehku berapa kali aku menyemprotkan lahar panas ke mulut Ita. Terlihat cairan putih kental meleleh dari mulut Ita membanjiri wajahnya, lalu tubuhku ambruk di samping Ita.

Kejamnya ibukota

Kejamnya ibukota

Namaku Budi. Akibat dampak krisis yang berkepanjangan, menyebabkan aku dipecat dari perusahaan. Dengan modal seadanya aku berusaha wiraswasta kecil-kecilan. Baru mulai dapat pasar, pemasukan sudah mulai membaik, eh peralatan di tempat usahaku dicuri maling. Apes benar yah. Sekejam-kejamnya ibu tiri tidak sekejam ibu kota, memang ada benarnya.

Akhirnya dengan meminjam modal pada saudara (jelas tidak mungkin kalau ke bank, apa yang mau diagunkan). Setelah modal cukup aku coba lagi diusaha yang sama, hanya beda lokasi (mungkin hong sui yang dulu nggak bagus - pasar ada tetapi nggak aman).

Pemasukan dari usaha ini tidak begitu baik, tetapi tetap bersyukur, karena tempatnya aman. Yah aku coba jalani saja, hingga suatu saat…

Aku punya istri, namanya Ida. Dia bekerja di perusahaan swasta sebagai staf pemasaran. Gaji yang dia dapat tidak mencukupi karena (setelah) dipotong dengan biaya transpotasi dan makan, hanya tinggal beberapa ratus ribu rupiah. Sementara fixed cost COM (Cost Of Marriage) alias biaya tetap operasional rumah tangga cukup besar yang tidak sebanding dengan pemasukan, sehingga aku usulkan dia berhenti bekerja saja, agar membantu usahaku dengan demikian aku dapat mengurangi karyawanku dan menambah pemasukan. Alhasil pemasukan hanya dari hasil wiraswastaku, mangan ora mangan ngumpul.

Setelah dicoba beberapa bulan, akhirnya dia menolak dengan alasan pemasukanku fluktuatif, sementara dia mempunyai penghasilan tetap. Selain itu pekerjaan di rumah monoton, dan buat apa dia belajar bila tidak dipraktekkan. Semua alasannya masuk akal, sehingga dengan berat hati aku menyetujuinya untuk kembali bekerja di kantor yang sama. Beruntung sebelumnya dia mendapat cuti di luar tanggungan, belum mengundurkan diri, sehingga dapat kembali lagi dengan hak yang sama.

Beberapa bulan kemudian istriku bilang ingin mempunyai anak. Saat ini dia menggunakan spiral sebagai kontrasepsi (kita sepakat sebelum nikah agar tidak mempunyai anak bila belum siap secara materiil dan moril). Aku bilang kondisi saat ini tidak memungkinkan. Dia tetap bersikeras bahwa banyak anak banyak rejeki. Aku tertawa mendengarnya. Akhirnya dia menerima untuk sementara waktu tidak hamil dulu. Aku berikan alasan bahwa biaya terbesar untuk mempunyai anak adalah pendidikan dan kedua kesehatan, sehingga dengan kondisi yang belum stabil, aku belum berani ambil resiko - kita selalu bermusyawarah dengan memberikan alasan yang masuk akal, sehingga tidak ada larangan tanpa alasan - alias otoriter.

Suatu siang, aku “pingin” banget, kita berdua tinggal di rumah kontrakan di pinggiran Selatan kota Jakarta, yang hanya mempunyai tiga ruang dengan masing-masing ukuran tiga kali tiga, ruang pertama ruang tamu, ruang tengah, ruang tidur yang mempunyai pintu, sedangkan ruang ketiga adalah dapur dan kamar mandi, sehingga secara keseluruhan rumah kontrakan ini berukuran tiga kali sembilan meter, dan itupun berjajar sebanyak lima buah berdempetan.

Kondisi rumah yang kecil dan panas yang terik, membuat dia tidur hanya mengenakan CD dan bra, sementara tak jauh darinya kipas angin dengan kecepatan rendah, sedang berputar. Pagi hari menjelang siang aku “meminta” tetapi dia menolak karena capek. Tapi desakan “arus bawah” ini nggak tahu diri, akhirnya aku berusaha masuk ke kamar. Ternyata kamar dikunci. Dengan tidak kehilangan akal aku berusaha melepas anak kunci di dalam kamar dengan menusuk dari luar dengan obeng, agar jatuh ke koran yang aku letakkan di bawah pintu. Aduh mau minta “jatah” sama istri sendiri saja susahnya minta ampun. Saat anak kunci jatuh, dia terbangun dan anak kunci itu dengan sekali gerakan dengan kakinya keluar dari koran. Yah apes, gagal.

Aku coba cara lain. Kabel kipas angin tertancap di stop kontak di luar kamar tidur (karena stop kontak di kamar tidur lagi rusak) aku cabut sehingga udara yang dihembuskan terhenti. Tak berapa lama, dia mulai berkeringat, dan berusaha menekan tombol-tombol kipas yang tak bertegangan.

Karena panas dia keluar dan…
“Mas, aku capek tolong jangan dulu, pasang lagi kabel kipas anginnya!” katanya. Tanpa komentar kulakukan apa yang dia minta. Yah terpaksa mengalah lagi. Dia kembali masuk ke kamar untuk melanjutkan tidur tanpa mengunci kamar. Gagal lagi.

Suatu hari dia memintaku agar bekerja di kantoran, yang penting mempunyai penghasilan tetap. Aku bilang umurku sudah tidak muda lagi. Mana ada kantor yang mau. Yang ada juga sekarang pada di PHK, kubilang.

Saat malam, aku benar-benar “pingin” banget, soalnya yaitu, dia kalau tidur nggak siang atau malam selalu hanya CD dan bra hitamnya saja, sementara kulitnya lumayan putih, jadi kan “arus bawah” selalu meronta. Aku mulai mendekati dan merayunya, karena sudah beberapa hari ini aku hanya masturbasi.

“Ma, aku pingin, nih..” sambil mengusap paha bagian dalamnya, posisinya tidur telungkup. Dia langsung membalik badan dan duduk serta…
“Kamu disuruh kerja nggak mau, aku pingin punya anak kamu nggak mau, apa-apa nggak mau, mati aja sana! ngentot mulu yang dipikirin..” katanya dengan suara cukup keras, malu juga aku didenger oleh tetangga.
“Ya sudah Ma. Kalau nggak mau yah jangan teriak-teriak gitu dong. Didengerin sama tetangga kan malu!” jawabku. Mungkin dia ada masalah di kantor atau kurang sehat, aku memaklumi, aku keluar kamar dan tidur di ruang tamu.

Di suatu sore, saat sampai di rumah dari pulang kerja, setelah membersihkan diri dan makan, dia minta tolong aku untuk ngerokin badannya. Katanya masuk angin. Aku sedang tanggung memperbaiki peralatan usahaku di ruang tamu. Ternyata karena nggak sabar menungguku, dia minta tolong dengan mbak sebelah untuk ngerokin badannya di kamar tidur kami.

Setelah selesai memperbaiki peralatan, aku menuju kamar tidur dan kulihat dia sedang tidur-tiduran (dia selalu tidur dengan telungkup, aku nggak bisa membayangkan saat dia nanti hamil, kalau jadi, khan repot). Aku coba memijat pundaknya, dan mengurut punggungnya. Karena terhalang oleh tali surga alias tali bra, kucoba melepaskan. Dia diam saja, dan aku terus memijat dengan siku tanganku secara perlahan, kuturunkan sedikit bagian belakang celana dalamnya hingga belahan pantatnya tampak semua (kalau dia protes, akan kujawab CD-nya mengganggu).

Nampaknya dari hasil pijatanku dia tertidur. Dengan perlahan kulepas CD-nya, pelan-pelan. Setelah terlepas, kupijat telapak kakinya sedikit demi sedikit menuju ke bagian atas sambil melebarkan bentangan kaki kiri dan kanan, kemudian ke arah betisnya, pangkal pahanya, dan kuusap paha bagian dalamnya, dan dia mengubah arah kepalanya dengan membelakangiku (jangan-jangan dia pura-pura tidur???).

Saat ini rudalku sudah siaga satu, nampak seperti joystick. Bedanya nggak ada push-button-nya.

Saat kupijat paha bagian dalam sengaja kelingkingku tidak ikut menekan tetapi kubiarkan menunjuk. Kadang kugesek ke anusnya, kadang ke klitorisnya (dia mempunyai klitoris yang sangat besar serta keluar dari penutupnya, baik dalam posisi terangsang ataupun tidak - mungkin itu sebabnya dinamakan IDA alias Itil kuDA). Dia ini tergolong wanita dengan bulu lebat, hingga lubang anusnya pun banyak ditumbuhi bulu. Takut dianya marah aku pindah memijat kaki sebelahnya tanpa merubah posisi dudukku, dan kuulangi lagi mengarah ke atas. Kali ini aku tidak menyentuh anus atau klitorisnya, tapi kuusap bulu kemaluan serta bulu sekitar anus tanpa menyentuh kulitnya.

Aku lepaskan pakaianku. Kebetulan hawanya panas sekali saat itu. Kuusap kemaluannya, terasa ada seikit lendir, kubalikkan badannya, dan…
“Ma, main, yah?” bisikku ke telinganya sambil menjilat daging lunak sekitar telinga.
“Hmmm…” tanpa kata, tapi aku dapat menangkap maksudnya, pasti bukan penolakan. Segera kutindih badannya, dan kuhisap putingnya yang berwarna coklat muda secara bergantian (lucu deh, balita aja kalah mimik asi-nya). Kemudian kucium mulut dan kujilati sekitar telinganya, aku tidak berani mencium lehernya karena masih ada sisa balsem, bukan terangsang yang kudapat malah kepedasan nanti.

Aku tidak berani memegang rudalku, karena tangan bekas memijat tadi terkena balsem bekas kerokan yang ada di punggung istriku. Sehingga dengan penuh perjuangan aku mencoba memasukkan rudalku ke dalam vagina istriku tanpa memegangnya, seperti max biagi habis finish terus lepas tangan, tusukan pertama gagal akibatnya terpeleset dan menggesek klitorisnya, istriku coba mengangkang lebih lebar agar lebih leluasa memasukkannya, kutusuk lagi, dan terpeleset dan…

“Pa, pelesetin terus aja enak kok,” katanya ngeledek. Dalam hati iya enak di kamu, nggak enak di aku. Kucoba yang ke tiga, akhirnya masuk, tetapi belum masuk semua hanya bagian kepalanya saja karena agak sempit. Nggak apa-apa deh yang penting sudah masuk sasaran tembak. Ya sudah, aku coba tarik-tekan dengan “space” yang kecil tadi, dengan kesabaran akhirnya semakin basah dan…

“Mph, eh,” cuman itu yang keluar dari mulut istriku, dengan raut muka seperti orang tidur.

Lama kelamaan vaginanya semakin basah sepertinya mempersilakan rudalku masuk lebih dalam. Kutekan lebih dalam dan masuk semua, baru tarik-tekan, empat kali, aku sudah keluar.

“Ma, maaf yah, soalnya sudah lama nggak main jadi keluarnya cepet,” kataku. Dia tidak menjawab tetapi mengeluarkan lenguhan nafas panjang, artinya dia nggak puas. Yah siapa sih tahan “palkon” (kepala kontol, red) belum masuk semua, tapi digesek-gesek sekitar vagina soalnya belum dipersilakan masuk. Coba deh masturbasi, tapi yang diurut hanya “palkon”nya saja, kalau nggak cepet keluar (ya lecet). Udah gitu aku khan udah lama nggak main jadi yah cepet keluar. Aku agak heran sampe ada yang main bisa lama saat merawanin anak orang. Biasanya untuk pertama kali yang cewek akan merasakan lebih banyak sakitnya ketimbang enaknya, sementara cowok lebih cepat keluar karena “palkon”nya akan terjepit dinding vagina karena si cewek menahan rasa sakit. Yah kecuali kalau cowoknya memakai obat atau Co sudah pengalaman alias nggak perjaka.

Setelah itu aku berdiri dengan ke dua lututku. Tampak cairan putih alias spermaku meleleh dari vagina istriku. Ada sebagian orang yang mengatakan itu cairan yang menjijikan, didorong bagaimanapun caranya tetap akan keluar dari kedudukannya (si istri pingin hamil jadi berusaha spermanya nggak keluar) - beda dengan pejabat di negara berkembang udah menjijikan didorong pakai apapun tetap nggak mau turun juga.

Kubersihkan dengan CD hitamnya, dan aku ke belakang untuk memcuci “rudalku”. Setelah selesai aku kembali ke kamar tidur. Posisi tidur istriku belum berubah, masih terlentang dengan kaki terbuka lebar dan mata terpejam (yang jelas bukan tidur kemungkinan kesel, ya).

“Ma, nambah yah?” kataku. Dia diam aja. Aku duduk di depan vaginanya. Tampak vagina labia minoranya sudah menutup, tetapi klitorisnya masih tersembul keluar. Kubuka labia minoranya yang tertutup bulu hitam keriting, saat akan kujilat…

“Jangan, Pa, kotor..” kata istriku, sambil bangun terus memegang bagian belakang kepalaku dengan kedua tangannya serta menghisap bibir bawahku, menghisap dengan sangat kuatnya dan mencari-cari lidahku. Setelah dapat, dihisapnya lidahku, terlepas, dimainkannya lidahnya di gusiku. Saat dia melakukan semua gerakan kulihat matanya terpejam, saat mendapatkan lidahku, matanya setengah terbuka yang tampak bagian putihnya saja.

Dijilati leherku, terus ke dua putingku, hingga “rudal”ku bergerak tetapi belum mengeras hanya “waspada satu”. Selanjutnya dia menjilati lubang “rudal”ku. Poupss, rasanya mak… Dia suka meng-oral-ku, tetapi kalau di-oral nggak mau, alasannya kotor bekas darah menstruasi, keputihan, bau, pokoknya nggak boleh, yah sudah aku nurut aja, toh aku yang diuntungkan.

Dia memasukkan hanya sebatas kepala “rudal” ke dalam mulutnya, dihisap, dilepas (hingga bunyi “plop”), dijilati kepalanya, dihisap lagi, begitu keras menjadi “siaga satu”, dimasukkan semuanya ke dalam mulut, dilakukan berulang-ulang. Rasanya “rudal”ku sudah keras, tetapi ada sedikit rasa linu (mungkin setelah keluar yang pertama tadi dan kencing saat dibersihkan sekarang dipaksa tegang lagi), sehingga rasa linu ini mengalahkan rasa nikmat untuk segera “keluar”.

Tahu kalau sudah “siaga satu”, dia segera mengangkangi rudalku dan memasukkan ke vaginanya, bergerak naik turun dengan sangat cepat.

“Oh.. oh.. ohhh..” suaranya keras bener, membuat rasa linuku hilang berubah menjadi nikmat. Kucoba menutup mulutnya agar tidak didengar tetangga, malah jariku dijilati, auw, enak bener. Nggak lama digigit, langsung segera kutarik tanganku (ganas bener, anjing kalah?), Eh, malah lebih keras lagi suaranya. Bodo ah, biarin tetangga denger, kadang seperti orang kepedesan (sshuah - shuah, padahal nggak ada cabenya), kadang seperti orang merintih kesakitan.

Sudah capek dengan gerakan cepat naik-turun. Dia terduduk tetapi tetap bergerak memutar secara perlahan, kemudian dia roboh, telungkup memelukku, dan menghisap bibirku. Terasa “rudalku” seperti ada yang menekan, saat dia melakukan penekanan dengan rongga vagina pada “rudalku”, dia mengangkat sedikit pantatnya dan menjatuhkannya kembali, akhirnya dia nggak bergerak.

“Capek aku, Pa,” katanya dengan napas ngos-ngosan. Kubalik badannya tanpa melepas “rudal”ku. Tampak hidungnya kembang-kempis, capek benar kayaknya. Kucabut “rudalku”. Tampak banyak lendir berwarna putih menyelimuti “rudal”ku, dan di sekitar labia minoranya ini sih bukan becek tapi banjir, tetapi aku tetap senang (wanita tidak mengeluarkan atau menyemprot cairan sperma seperti pria, hanya lendir bening, akibat dikocok terus menerus maka berubah manjadi putih susu).

Kalau ada yang bilang “jangan sama orang Sunda”, “jangan sama orang Cina”, “jangan sama orang berkulit putih”, banjir, becek, menurutku “SALAH”, banjir dan becek itu menandakan wanita itu terangsang “BUKAN” dari warna kulit, sehingga memudahkan penetrasi. Sebaliknya bila kering akan sulit sekali penetrasi, kalau dipaksakan akan berakibat iritasi selain itu akan menyebabkan ejakulasi premature karena sentuhan yang diterima sangat luar biasa. Mau tahu buktinya mana ada pemerkosa lama, paling nggak lebih dari dua menit (aku bukan pemerkosa lho) yah kalau dia kelamaan keburu ketangkep, tul nggak? Kalau iritasi perihnya minta ampun. Ada cerita yang mengatakan pelacurnya nggak tahu kalau tamunya sudah keluar - itu bisa terjadi bila: pelacurnya acting, pelacurnya lagi ngelamun atau pelacurnya masih perawan, lha wong tiap hari ditusukin pasti dia tahu. Mungkin lebih tahu dari tamunya, soalnya dia berusaha agar secepatnya ejakulasi, khan prestasi kerjanya di situ.

Aku bersihkan “rudal”ku dan labia minoranya dengan GT MAN-ku. Selanjutnya kumasukkan kembali, kuangkat kakinya ke pundakku. Gerakanku pelan (kan habis di bersihkan jadi agak berkurang lendirnya) begitu mulai basah kutambah kecepatannya, hingga tak lama akan keluar…

“Mas jangan dikeluarin dulu, Papa berdiri deh,” kata istriku. Segera aku bangun dan dihisapnya. Saat akan keluar, disemprotkan spermaku ke wajahnya, dan dioleskan “rudalku” ke wajahnya.
“Kamu kok aneh sih, Ma?” tanyaku.
“Nggak. Kata teman sperma itu obat manjur untuk jerawat. Selain itu juga mengencangkan wajah!” katanya.
“Kata siapa?” katanya.
“Mbak Maryanah,” jawabnya. Hah, Mbak Maryanah itu tetangga sampingku, orangnya kalem, sopan, guru TK. Nggak nyangka. Pantes kok nggak pernah jerawatan dan memang sih wajahnya putih kenceng. Tapi masak sih orang seperti itu mau melakukan kayak gitu, yah dalamnya laut siapa tahu?
“Pasti ngelamunin ya?” tanyanya, sambil mencubit pantatku.
“Tahu aja, habis nggak nyangka sih.”
“Sebetulnya dia keberatan ngasih tahunya, tapi aku desak terus menerus untuk memberikan resep bebas jerawat dan wajah kencengnya. Kata dia sih cuman aku yang tahu, jangan diberitahukan ke siapa-siapa, malu katanya,” jawab istriku.

Setelah kita berdua membersihkan organ vital, kita menuju peraduan.
“Ma, kamu itu jerawatan bukan pakai sperma obatnya, tetapi jangan stres!” kataku sambil tidur miring menghadap ke arahnya.
“Papa ini gimana sih, namanya orang hidup khan pasti punya masalah, nah khan mesti dipikir!” jawabnya nggak kalah sengit sambil menekan jidatku.
“Tetapi menurutku jerawatmu itu karena nafsumu yang nggak tersalurkan, jadi timbul di wajahmu terus sering marah-marah,” kataku.
“Itu maunya Papa agar bisa sering main, tapi gimana yah, aku khan nggak bisa nafsu kalau aku ada masalah sama kamu.”
“Jadi kamu selingkuh dengan orang lain, memangnya ada masalah apa denganku.”
“Selingkuh, nggak lha yau, nggak selingkuh aja sudah pusing apa lagi selingkuh,” jawabnya tegas. Wah kaget juga hampir ngantukku hilang. Biasa, habis main biasanya ngantuk bawaannya.

“Terus masalahmu apa sama aku?” tanyaku.
“Pa, aku bingung ngurus keuangan rumah tangga, semua keperluan kamar mandi naik, listrik naik, kontrakan naik. Cuma susuku sama spermamu saja yang turun,” katanya sambil megang susunya sendiri serta “rudalku”.
“Yah larinya kok kesitu lagi,” kataku.
“Lho memang kenyataan begitu, kalau sudah gitu khan pusing, gimana mau main, coba.”
“Kok hari ini kamu tumben mau, biasanya marah-marah melulu?” tanyaku.
“Tadi aku periksa ke tempatmu kerja, kata Lili (kasirku) banyak pengunjung, jadi pasti kamu bawa uang banyak,” jawabnya sambil senyum.
“Oohhh,” kataku sambil senyum juga.
“Jadi kalau gitu masuk angin dan kerokannya hanya akting. Pantes nggak merah? agar mancing aku untuk bersetubuh, memuaskan kamu, dan jerawatmu?” tanyaku kesal, tapi ngecret juga sih.
“Nggak juga Pa, memang tadi badanku terasa nggak enak, terus aku di jalan lihat orang di bajaj mesra banget, bayangin di bajaj aja mesra, kalau di mobil mewah sih wajar, jadi ingat kamu. Tapi yang lebih penting sih kamu bawa uang lebih,” katanya.
“Lho kok masalah uang lagi?” tanyaku.
“Iya memang itu sumber masalahnya,” jawabnya.
“Katanya dulu waktu pacaran sudah siap hidup susah, yang penting saling mencinta,” rayuku.
“Makan tuh cinta,” katanya. Aku tersenyum.
“Jadi ada uang abang sayang, nggak ada uang abang ditendang?” kataku.
“Ember,” jawabnya sambil senyum.
“Tahu gini mendingan beli sate dari pada pelihara kambing,” kataku meledek.
“Sapa suruh luh kawin,” katanya sambil menaikkan dagunya yang lancip, sambil merubah posisi tidur dengan wajah membelakangiku.
“Dasar perempuan, tugasnya ngabisin uang suami,” kataku, yang masih tetap tidur miring menghadap ke istriku.
“Kodrat” jawabnya singkat.

Yah, itulah sebagian kecil kehidupan rumah tangga yang selalu banyak masalah silih berganti, padahal sebelum nikah, aku sudah membaca segala macam buku. Kalau ujian mungkin dapat nilai “A”. Ternyata setelah nikah, segala teori yang di buku hanya sebagian kecil yang terjadi.

Jadi ingat sebuah lagu,
Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.
Bersakit dahulu - senangpun tak datang, malah mati kemudian.
———(Jamrud)